BERTEPATAN 30 Ramadan 1442 Hijriah (Rabu 12 Mei 2021), selepas berbuka di hari terakhir bulan Ramadan, keluarga besar H. La Ode Ali Bina (alm.) dan Hj. Wa Naziah melaksanakan Haroa (Maloana Bangua), atau ritual masyarakat dan keluarga Buton yang berfungsi keagamaan dalam tradisi Islam Buton. Pelaksanaan Haroa ini bertempat di kediaman pribadi Hj. Wa Naziah.

Tidak ada yang diundang secara khusus dalam pelaksanaan Haroa ini, dan hanya untuk kalangan keluarga saja, yakni putra-putri, anak-menantu, cucu dan ponakan H. La Ode Ali Bina (alm.) dan Hj. Wa Naziah, antara lain; Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Ali Mazi, SH., dan Ibu Agista Ariany serta putra-putri beliau; Ibu Hj. Usnia; Bapak Suharmin; Bapak Asrun Lio, Bapak Abdul Ratif, Bapak Achmad Buton, Bapak Muhammad Judul, Ibu Zanuria, serta sanak famili lainnya. Sementara itu, di beberapa tempat lainnya, bersamaan waktunya, seluruh keluarga besar H. La Ode Ali Bina (alm.) dan Hj. Wa Naziah melakukan ritual Haroa.
[GALERI FOTO] Haroa Maloana Bangua Keluarga Besar Gubernur Ali Mazi
Gubernur Ali Mazi menyatakan bahwa ritual Haroa dalam tradisi ke-Islam-an Buton, ini harus terus terpelihara karena merupakan salasatu kekayaan tradisi Indonesia. Salasatu Multikulturalis Indonesia ini, sangat bahagia bahwa Ibundanya masih memelihara dan melaksanakan tradisi adi luhung orang Buton, setiap tahunnya.
Pelaksanaan Haroa keluarga besar H. La Ode Ali Bina (alm.) dan Hj. Wa Naziah, diakhiri dengan berbuka puasa bersama.
Haroa Masyarakat Islam Buton
Haroa dalam masyarakat Buton berfungsi di samping sebagai ritual keagamaan yang terkesan wajib, juga berfungsi sebagai media dakwah bagi tokoh-tokoh agama untuk mendakwahkan agama Islam.
Dalam khzanah umum, Haroa, adalah ritual memanjatkan doa kepada Allah SWT di momentum khusus. Ada banyak bulan komariah (penanggalan Islam) yang dijadikan waktu untuk menggelar Haroa. Salasatunya Haroa saat memasuki dan mengakhiri bulan Ramadan.

Tradisi Haroa pada bulan Ramadan bertujuan meminta pengampunan kepada Allah SWT agar amal dan ibadah selama menjalankan ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan, seperti puasa, salat dan zakat dapat diterima. Tidak hanya itu, dalam doa juga diselipkan permohonan pengampunan dosa kepada para leluhur dan keluarga yang telah berpulang, agar amalan dan ibadah mereka diterima Allah SWT.
Haroa di akhir Ramadan disebut juga Haroa kemenangan. Di Bulan Suci Ramadan, seluruh manusia diibaratkan sebagai petani yang siap memanen hasil kebunnya. Yang berarti, seluruh amalan baik yang dikerjakan sebelum memasuki bulan suci Ramadan dipintakan kepada Allah SWT agar menjadi pahala besar.
Tidak semua bulan dalam penanggalan komariah digelar ritual Haroa, kecuali ada momentum tertentu seperti Haroa syukuran/selamatan. Sedang Haroa yang wajib dilakukan adalah Haroa Syakban, Haroa Rajab, Haroa Maulid, dan Haroa Ramadan.
Dijelaskan, bahwa setiap doa yang terselip dalam Haroa di masing-masing momen itu berbeda-beda. Jika di Bulan Suci Ramadan, maka doa yang dipanjatkan untuk kepentingan Ramadan. Sedangkan pada bulan Rajab terselip Istigfar Rajab disusul bacaan surah al-Ikhlas sebanyak 100 kali, dan ratib sebanyak 100 kali yang dikhususkan untuk para almarhum dan almarhumah.
Berbeda lagi dengan Haroa Maulid. Doa pada Haroa Maulid cukup panjang hingga satu setengah jam. Sebab dalam bacaannya terdapat banyak ritual. Berbeda lagi dengan Haroa Syakban, yang disisipkan bacaan surah Yasin sebanyak tiga kali yang bertujuan meminta umur panjang, rezeki, dan lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan doa nisfu Syakban dan dilanjutkan dengan doa-doa arwah.
Haroa Malona Bangua, Haroa Qunua dan Haroa Qadhiri
Sedangkan dalam khazanah akademik, Haroa adalah hidangan berupa makanan, lambang bekal bagi arwah yang dianggap akan menempuh suatu perjalanan yang jauh. Dalam pengertian lain hidangan berupa lauk-pauk dan kue tradisional yang disiapkan untuk menyambut malam di bulan Ramadan (—; KBBI).
Dalam artikel ilmiah Tradisi Haroa (Dakwah Islam dalam Masyarakat Marginal Muslim Buton) oleh Nurdin, STAIN Sultan Qaimuddin Kendari, dikemukakan bahwa dalam masyarakat Buton, haroa adalah ritual perayaan hari-hari besar Islam atau bentuk syukuran atas nikmat dan karunia Tuhan, di mana pelaksanaannya diadakan di rumah-rumah warga yang diikuti semua anggota rumah.
Demikian juga dengan para tetangga turut diundang baik yang berbeda suku maupun agama. Keluarga maupun para tamu/tetangga yang diundang duduk berkumpul di satu ruangan, dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kuliner tradisional seperti onde-onde, cucuru (cucur), bolu, baruasa (kue beras), ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang goreng). Semua kuliner tersebut mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya ada telur. Usai pembacaan doa, acara selanjutnya adalah santap bersama.
Antropolog Victor Turner mengatakan bahwa makna ritual Haroa adalah memperkokoh jaringan sosial di antara seluruh anggota masyarakat; silaturahmi dengan tetangga, serta kian akrab dengan semua keluarga. Pelaksanaan Haroa dalam setahun bisa dilakukan selama beberapa kali, sesuai dengan peringatan hari-hari besar Islam yang sering dirayakan.
Haroa Maloana Bangua adalah Haroa yang diselenggarakan oleh masyarakat Buton untuk menyambut masuknya dan berakhirnya bulan Suci Ramadan. Haroa Malona Bangua pada malam pertama dirayakan dengan membaca doa bersama keluarga dan sanak famili serta para tetangga.
Pada masa silam, hari pertama di Bulan Suci Ramadan, masyarakat Buton merayakannya dengan doa bersama di rumah sambil bersilaturahmi. Di masa lalu, bagi masyarakat Buton, pemahaman tentang pelaksanaan ibadah puasa yang seharusnya dilaksanakan selama sebulan penuh, justru hanya dilaksanakan tiga hari. Melalui Haroa Malona Bangua ini, para pemuka agama mendakwahkan dan meluruskan pemahaman keliru tersebut. Dalam Islam, puasa Ramadan dilaksanakan sesuai dengan perintah Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 183.
Sedangkan Haroa Qunua yaitu Haroa yang berkaitan dengan Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Quran). Haroa ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan Bulan Suci Ramadan atau pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat Buton memeriahkannya dengan mengantarkan makanan ke Masjid Keraton Buton dan disantap bersama-sama menjelang waktu sahur. Haroa Qunua dilakukan usai salat tarwih dan dirangkaian dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid.
Bagi tokoh agama Islam di Buton, momentum Haroa Qunua merupakan media yang sangat strategis untuk menyebarkan nilai-nilai agama Islam. Juga para tokoh agama menjadikan Haroa Qunua sebagai momen dakwah terutama mengetahui esensi al-Quran yang diturunkan sebagai Kitab Suci Umat Islam dan menjadi pedoman dalam kehidupan.
Demikian pula dengan Haroa Qadhiri, yaitu Haroa yang berkaitan dengan turunnya Lailatul Qadr di Bulan Suci Ramadan. Haroa ini tata pelaksanannya mirip dengan Haroa Qunua, yakni setelah salat tarwih dirangkaikan dengan sahur bersama di masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam Ramadan karena diyakini pada malam itulah turunnya Lailatul Qadr. []
Ilham Q. Moehiddin
Juru Bicara Gubernur Sultra
*Foto: JGS/Frans Patadungan © 2021.