“Saya memandang perlu mengembalikan formasi Utusan Golongan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat atau mendorong satu komposisi baru dalam formasi DPD, atau membuat formasi non partai politik (masyarakat adat) dalam nomenklatur legislatif di seluruh tingkatan.”
H. Ali Mazi, SH.
Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara.
Masyarakat Adat dalam Implementasi Otonomi Daerah
Oleh H. Ali Mazi, SH.
Kurang lebih, oleh masyarakat kita, Otonomi Daerah umumnya dipahami sebagai ruang bebas-terbatas bagi daerah untuk menentukan arah dan mengatur diri sendiri. Dalam paham yang lebih linier dengan beleid yang ada, terbatas juga memiliki preferensi yang berbeda, sebab posisi daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak bisa lepas sepenuhnya dari peraturan pemerintah pusat dalam banyak hal.
Otonomi Daerah menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, disebutkan sebagai bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah, sesuai amanat UUD 1945, bahwa pemerintah daerah dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Deskripsi singkat itu termaknai dengan segera, bahwa bebas dalam pengertian ini adalah “pemerintah daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan”; sedang terbatas dapat termaknai pula melalui frasa “menurut asas otonomi dan tugas pembantuan”.
Otonomi Daerah di Indonesia hanyalah frasa berbeda dari sesuatu yang sudah lama kita kenal sebagai Federasi. Kembar tetapi tidak identik. Dalam pengertian modern, Federasi adalah bentuk pemerintahan yang oleh beberapa negara bagian bekerja sama dan membentuk kesatuan yang disebut Negara Federasi. Masing-masing negara bagian diperintah oleh gubernur yang mengelola pemerintahan berotonomi khusus, sedangkan pemerintahan pusatnya hanya mengatur beberapa urusan yang dianggap Nasional.
Sehingga, konsep Otonomi Daerah pada NKRI dikenali dalam nilai Unitaris, yang diwujudkan pada pandangan bahwa di dalam Indonesia tidak ada kesatuan pemerintahan lain yang bersifat negara, bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia, yang tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintahan.
Nilai Unitaris tersebut terbangun dari nilai dasar desentralisasi teritorial yang bersumber dari isi dan jiwa [Pasal 18] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di mana pemerintah diwajibkan melaksanakan politik desentralisasi dan dekonsentralisasi (sekaligus) di bidang ketatanegaraan. Dari nilai itu, desentralisasi di Indonesia terpusat pada pembentukan daerah-daerah otonom dan pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pelimpahan tersebut untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan kewenangan daerah itu sendiri sesuai UUD 1945.
Otoda yang Tidak Meninggalkan Masyarakat Adat
Membicarakan Otonomi Daerah sebaiknya tidak kita lepaskan dari membicarakan kehendak masyarakat spasial dan unik. Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus disadari merupakan realisasi dari komitmen puncak ratusan komunitas masyarakat adat yang mengadopsi atau membentuk pemerintahan sendiri. Sehingga secara sederhana, sebelum NKRI ditetapkan, masyarakat adat adalah masyarakat otonom dengan kebudayaan, peradatan, hukum, dan pemerintahannya sendiri.
Otonomi daerah adalah suatu bentuk hak dan wewenang berikut kewajiban dari suatu daerah untuk dapat mengatur serta mengurus urusan daerahnya sendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam artian sempit, otonomi diartikan mandiri, dan dalam arti luas diartikan berdaya. Maka, Otonomi Daerah bisa diartikan sebagai suatu kemandirian daerah untuk mengurus, berbuat, dan memberikan putusan untuk kepentingan daerahnya sendiri.
Namun, dalam melaksanakan otonomi, tiap daerah tetap dikontrol oleh Pemerintah Pusat sesuai undang-undang. Pemberlakuan perundangan Otonomi Daerah dan/atau Otonomi Khusus, menampakkan kembalinya khitah tersebut, dengan cara atur dan cara kerja yang berbeda; bebas-terbatas.
Kedudukan politis masyarakat adat, sejak ditetapkan pemerintah melalui Ayat (2) Pasal 18 [bagian B] UUD 1945 sebagai salasatu landasan konstitusional masyarakat adat yang secara deklaratif mendapatkan pengakuan negara, atau dengan kata lain, negara mengakui dan menghormati keberadaan dan hak-hak masyarakat adat.
Pengakuan tersebut membawa implikasi politisnya, yang menurut saya, belum diwadahi secara terukur oleh pemerintah pusat. Masyarakat adat baru diakui secara deklaratif oleh negara, namun —selain hak suara— mereka belum memiliki hak bersuara. Masyarakat adat tidak memiliki representasi dalam strata politik negara, terkait pembahasan dan penentuan perundangan yang akan diberlakukan, yang otomatis, akan mengintrusi preposisi otonom fungsi peradatan mereka secara komunal.
Negara dan pemerintah perlu membuat aturan tambahan dalam perundangan yang dapat menempatkan masyarakat adat dan masyarakat hukum adat dalam sebuah perwakilan parlemen, sekaligus akses pembahasan legislasi.
Tidak ada yang akan dirugikan, namun sebaliknya akan diuntungkan dengan kehadiran masyarakat adat dan masyarakat hukum adat dalam perencanaan dan penentuan legislasi. Ruang politik bagi sekian banyak partai politik di Indonesia tetap akan terbuka, tanpa distrusi dan hak bersuara masyarakat adat dan masyarakat hukum adat juga memperoleh preferensi yang tepat.
Masyarakat adat merupakan istilah umum yang dipakai di Indonesia untuk merujuk pada komunitas-komunitas adat (adat rechtsgemeenschappen) yang sudah ada sejak manusia membentuk komunalnya, mencakup segala aspek dan tingkatan kehidupan. Sedangkan, Masyarakat Hukum Adat, dalam ilmu hukum dan teori secara formal dikenali sebagai masyarakat asli Indonesia yang menolak dikelompokkan sedemikian rupa —mengingat perihal adat yang tidak hanya menyangkut hukum.
Masyarakat hukum adat adalah kelompok yang tidak bisa dipisahkan dari subyek hukum masyarakat adat itu sendiri, yang dalam praktiknya melakukan segala upaya hukum terkait pengakuan, pelibatan, perencanaan, hingga pengesahan perundangan yang dapat menjamin segala aspek kehidupan mereka.
Di beberapa negara lain, semisal Australia, masyarakat adat Aborigin, selain memiliki pengakuan sebagai subyek hukum normatif, mereka juga baru sebatas diberi akses khusus untuk berbicara langsung kepada Perdana Menteri. Walau demikian, sistem di Australia tersebut tidak lebih baik, sebab masyarakat adat Aborigin belum memperoleh hak bersuara serta mewakili komunal dan kepentingan adatnya di tingkatan parlemen.
Indonesia bisa lebih maju dibanding negara-negara lain tersebut, jika negara mampu memberi ruang hukum dan legislasi yang cukup, atau ruang bersuara dalam penentuan konstitusi, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
Secara praktis —untuk kepentingan memahami dan memaknai adjektiva deklaratif dalam konstitusi mengenai pengakuan masyarakat adat— maka “masyarakat adat” dan “masyarakat hukum adat”, atau “penduduk pribumi” dapat digunakan silih berganti dan mengandung makna yang sama.
Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Masyarakat Adat, sebagai cara praktis bagi masyarakat adat mengidentifikasi dirinya sebagai orang asli atau orang suku, sekaligus menyetujui agar istilah-istilah itu digunakan secara sinonim.
Kebanyakan dari mereka menyebut diri sebagai bumiputra agar mereka dapat dimasukkan ke dalam diskusi-diskusi yang sedang berlangsung di tingkat global. Untuk tujuan praktis istilah bumiputra atau masyarakat adat dipakai sebagai sinonim dalam berbagai sistem, saat orang-orang yang bersangkutan mengidentifikasi diri mereka di bawah agenda masyarakat asli.
Dalam maksud yang lebih sistemik, bahwa negara sebaiknya memanfaatkan kekuatan keberagaman tradisi Indonesia ini dalam dialektika politik yang lebih menyeluruh dan modern. Masyarakat adat dan preposisi masyarakat hukum adat adalah sumber daya kekuatan bangsa dan negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk mendorong posisi Indonesia ke tingkatan yang lebih tinggi dalam pergaulan dunia.
Dalam putusan Nomor: 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.
Putusan MK tersebut salasatu contoh bagaimana isu dan subyek hukum dalam advokasi masyarakat adat yang bertujuan membantu mengidentifikasi unit-unit sosial yang sekaligus berkapasitas sebagai subyek hukum. Kapasitas tersebut merupakan kemampuan melakukan tindakan hukum, baik dalam lapangan hukum privat maupun publik. Secara tidak langsung ini memperkenalkan pemikiran dan metode dalam resolusi pengakuan karena fokus pada identifikasi kemampuan masyatakat adat sebagai subyek hukum, bukan pada kriteria keberadaannya.
Hal ini juga dapat memperjelas tahapan-tahapan pengakuan masyarakat adat dalam frame otonomi daerah yang masih dianggap retoris. Secara normatif akan merujuk pada peraturan perundangan dan kebijakan mengenai pengakuan, sedangkan secara empirik dapat ditemui dalam berbagai pengalaman masyarakat adat di banyak daerah di Indonesia. Sehingga jika masyarakat adat tidak diberikan hak-hak konstitusinya, maka akan mengembalikan tata-laksana ruh otonomi daerah kembali ke tingkatan paling bawah.
Berbagai hal terkait masyarakat adat diperebutkan untuk dikuasai oleh berbagai pihak dalam ruang politik serta kekuasaan negara. Tanah-tanah ulayat, pakaian adat, dan artefak-artefak budaya masyarakat adat adalah sebagian yang terlihat telah “direbut” dan “diambil alih” oleh negara sebagai bentuk pengakuan deklaratif itu tadi, sesuatu yang masih berbanding terbalik dengan preposisi masyarakat adat dalam konstitusi dan pembangunan. Perebutan, penguasaan, dan komodifikasi atas masyarakat adat selalu digambarkan secara terang, distingtif, argumentatif, dan dekonstruktif.
Negara Indonesia Singkirkan Domein Verklaring
Hal-hal yang hegemonis secara ilmiah (hukum dan sosial) atas keberadaan masyarakat adat dan kekuasaan negara atas masyarakat adat itu, dapat diubah secara sadar untuk upaya menempatkan masyarakat adat sebagai subyek sosiologis dan subyek hukum positif.
Negara sebaiknya tidak lagi dilihat sebagai entitas kolonial yang lain, sebagaimana fakta domein verklaring yang membawa pembenaran tindakan pemerintah kolonial Hindia Belanda mengeliminasi hak masyarakat adat di Nusantara atas tanah dan sumber daya alamnya, jauh di masa lampau.
Secara konseptual, domein verklaring berisi empirisme bahwa seluruh tanah yang di atasnya tidak dapat dibuktikan adanya hak eigendom-nya oleh seseorang, maka menjadi domain negara (pemerintah Hindia Belanda,—ket.). Konsep itu mendorong pemerintah kolonial melakukan tindakan pengadaban orang-orang yang mereka jumpai di atas tanah dan wilayah yang mereka datangi.
Penguasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas masyarakat adat terus berlangsung hingga Indonesia merdeka. Berbagai undang-undang yang mengatur mengenai kehutanan, agraria, pertambangan, dan sebagainya, mendudukkan masyarakat adat sebagai pihak yang dikuasai negara. Padahal, secara genealogis dan fenomenologis, eksistensi masyarakat adat sudah berlangsung lama sebelum “negara” dilahirkan.
Masyarakat adat tidak memiliki ruang yang cukup dan kesempatan yang sama dengan masyarakat lainnya, dalam mengartikulasikan keberadaannya. Masyarakat adat merupakan fenomena pranegara, sehingga dalam setiap konstruksi dan pembuatan hukum positif oleh negara, masyarakat adat harusnya berkedudukan sebagai subjek hukum positif. Sebagaimana masyarakat egaliter-modern yang bebas mengatur komunitas, lingkungan sosial dan ekonominya, maka masyarakat adat berkedudukan sama dan memiliki jaminan dan kepastian untuk dapat mengatur komunitas, hutan, dan tanah ulayatnya, serta akses konstitusi.
Kedudukan tersebut merupakan keniscayaan karena sering kali masyarakat adat ditempatkan dalam dilema politik hukum pengakuan atasnya oleh para pembuat undang-undang. Kekuasaan pemerintah terus berganti dari zaman ke zaman, tetapi masyarakat adat tetap ditempatkan dalam dilema pengakuan konstitusional atas keberadaannya.
Kondisi inilah yang mendorong seluruh masyarakat adat bergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang bertahun-tahun memperjuangkan pengakuan konstitusionalnya. Sampai hari ini, AMAN telah beranggotakan 2.359 komunitas adat di seluruh Indonesia —yang menempati wilayah adatnya secara turun-temurun, memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alamnya, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adatnya, dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan sebagai komunitas adat— yang berjumlah sekitar 17 juta anggota individu.
Kekuatan sangat besar seperti ini harus termediasi secara adil dalam struktur otonomi daerah, berupa hak suara dan hak bersuara dalam perancangan, penetapan dan penentuan peraturan daerah serta perundang-undangan di tingkat Nasional.
Fraksi Masyarakat Adat
Format keterwakilan suara masyarakat dalam partai politik dan perwakilan daerah (senatorial) ternyata tidak menjawab kebutuhan mereka mengenai akses dan pelibatan mereka dalam perancangan perda dan perundangan.
Setelah formasi Utusan Golongan dan Utusan Daerah berubah menjadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) melalui amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, praktis hak bersuara sejumlah golongan tidak terwadahi secara politis. Kecuali sedikit, para senator dalam keanggotaan DPD juga nyaris tidak bersuara sama sekali mengenai hak-hak masyarakat adat.
Saya memandang perlu mengembalikan formasi Utusan Golongan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat atau mendorong satu komposisi baru dalam formasi DPD, atau membuat formasi non partai politik (masyarakat adat) dalam nomenklatur legislatif di seluruh tingkatan (DPRD Kab/kota, provinsi, pusat) dengan tetap mengikuti sistem pemilihan mekanis proporsional yang kini digunakan dalam pemilu Indonesia, sehingga dalam setiap tingkatan lembaga legislatif sangat memungkinkan ada satu Fraksi Masyarakat Adat.
Selain posisi mereka penting dalam implementasi otonomi daerah, juga akan membuat semarak peta keterwakilan dalam perpolitikan dan konstitusi Indonesia, serta menambah khazanah ketampakan sidang-sidang parlemen yang berwarna dengan hadirnya cultural empowerment dari fraksi Masyarakat Adat. []
)* Esai ini disampaikan sebagai sumbangsih pemikiran dan gagasan dalam rangka menyambut Hari Otonomi Daerah ke-XXV, 25 April Tahun 2021.