WALI KOTA Kendari dan Bupati Konawe Selatan (Konsel), saling berjabat tangan penuh kehangatan di hadapan Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Ali Mazi, SH., Sekda Pemprov Sultra Nur Endang Abbas, dan Ketua Tim Penegasan Batas Daerah (TPBD) Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) La Ode Ahmad Pidana Balombo.
Bertautan tangan itu paska penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Penyelesaian Tapal Batas Nomor: 36/BAD II/IX/V/2021, antara Bupati Konsel Surunuddin Dangga dan Wali Kota Kendari Sulkarnain Kadir, mewakili masyarakat dan pemerintahan masing-masing, di Ruang Rapat Kantor Gubernur Sultra, Selasa 18 Mei 2021.
[GALERI FOTO] Rapat Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Antar-Daerah di Sultra
Hadir pula dalam pertemuan ini, antara lain; Asisten I Setprov Sultra Basiran, Wakil Wali Kota Kendari Siska Karina, Sekda Kab. Konsel Syarif Sajang, Asisten I Pemkab Konsel Sahrin Saudale, Kepala Bappeda Kab. Konsel Ichan Porosi.
Kedua belah pihak telah menyepakati tapal batas wilayah yang disengketakan sejak tahun 2019, yang terletak di perbatasan Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Baruga, tepat di Gerbang Batas Kota Kendari-Konsel, sepanjang jalan menuju Terminal Baruga hingga simpang Markas Brimobda Sultra. Batas wilayah Kota Kendari berada di Kecamatan Baruga dan batas Kabupaten Konsel berada di Kecamatan Konda (Markas Brimobda dan Desa Lalowiu), kurang lebih 100 meter sebelum Brimobda Sultra dari arah Kota Kendari.
Secara prinsipil, kedua Kepala Daerah telah sepakat melakukan percepatan penyelesaian dengan menuntaskan segmen batas kota demi peningkatan pelayanan ke masyarakat dan kepastian administrasi hukum pemerintahan. Hal tersebut sesuai dengan peraturan perundangan terkait pengaturan batasan wilayah secara administratif, yakni Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000, dan Peraturan Kementerian Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 137 Tahun 2017 tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan.
Menurut Gubernur Ali Mazi, percepatan penyelesaian masalah batas antara kabupaten dan kota di Provinsi Sultra merupakan amanat Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonomi Baru dan sekaligus sebagai implementasi berlakunya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, dalam aturan turunannya, yakni Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin dan/atau Hak Atas Tanah. Dalam regulasi tersebut diamanatkan bahwa penyelesaian batas daerah harus sudah selesai paling lama lima bulan setelah Peraturan Pemerintah tersebut berlaku.
“Jadi, mengenai batas wilayah ini sangat mendesak diselesaikan. Penentuan batas-batas wilayah ini sangat menentukan, sehingga antara kabupaten/kota satu dengan yang lain tidak saling tersengketa,” jelas Gubernur Ali Mazi.
Dari 22 segmen batas antara kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sultra, 11 segmen telah berkekuatan hukum tetap, dengan terbitnya Permendagri tentang batas wilayahnya, dan masih ada tersisa 11 segmen batas yang belum berkekuatan hukum tetap.
Dari jumlah 11 segmen tersebut, ada tiga segmen sedang dalam proses penerbitan Permendagri-nya, sehingga tersisa delapan segmen, yang dalam beberapa hari ke depan akan difasilitasi oleh Kemendagri dalam rangka percepatan penyelesaian batas-batas wilayahnya.
Delapan segmen batas kabupaten/kota yang difasilitasi dalam pertemuan ini, adalah: Pertama, segmen batas wilayah Kab. Konawe – Kab. Konawe Utara; Kedua, segmen batas wilayah Kota Kendari – Kab. Konawe; Ketiga, segmen batas wilayah Kota Kendari – Kab. Konawe Selatan; Keempat, segmen batas wilayah Kab. Muna – Kab. Muna Barat; Kelima, segmen batas wilayah Kab. Muna – Kab. Buton; Keenam, segmen batas wilayah Kab. Muna – Kab. Buton Tengah; Ketujuh, segmen batas wilayah Kab. Muna – Kab. Buton Utara; dan Kedelapan, segmen batas wilayah Kab. Buton – Kota Baubau.
Menurut Gubernur Ali Mazi, masalah seperti ini bahkan sudah terjadi 20 tahun lalu. Pada tahun 2003, di masa periode pertama pemerintahan Gubernur Ali Mazi, terbentuk 12 kabupaten/kota baru. “Saat itu, mengenai batas wilayah ini dianggap tidak begitu penting, sehingga kurang diperhatikan. Kab. Konawe dan Kab. Konsel pernah berselisih mengenai batas wilayah. Karena waktu itu sedang berlangsung pemilu, maka sebagai Gubernur, saya mengambil keputusan sekaligus menetapkan batas wilayahnya, dan perselisihan pun selesai,” kisah Gubernur Ali Mazi.
Gubernur Ali Mazi berharap, semoga fasilitasi ini berjalan dengan baik dan masing-masing pihak memiliki keikhlasan dan kesadaran bahwa para Pemda mewakili negara dan pemerintah di bawah amanat Undang-Undang.
“Sebagai gubernur dan wakil pemerintah pusat, sekaligus pemerintah daerah, saya bersama perangkat Kemendagri akan menyelesaikan masalah batas-batas antar wilayah ini, sehingga tercapai solusi yang bersifat permanen dan ditetapkan, agar perjalanan para Pemda dalam mengelola pembangunan di daerah masing-masing selalu dalam suasana harmonis dan kondusif.” Demikian Gubernur Ali Mazi.
Sumber Sengketa Baru
Sebelumnya, sejak Desember 2019, Pemkot Kendari dan Pemkab Konsel bersengketa mengenai tapal batas wilayah. Pemkot Kendari ketika itu siap melakukan banding ke Badan Informasi Geografis (BIG). Titik sengketa Pemkot Kendari dengan Pemkab Konsel terletak di Kecamatan Baruga. Pihak Pemkot telah mengonfirmasi tapal batas tersebut kepada BIG, sehingga tidak ada kesalahpahaman tentang data tapal batas wilayah Kota Kendari. Ketika itu Pemkot Kendari telah memiliki Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara.
Kendati batas wilayah antar-daerah hanya secara umum, namun batas wilayah antar-daerah sudah ditegaskan dalam setiap perundangan pembentukan suatu daerah. Kepastian batas wilayah antar-daerah itu akan dituangkan dalam Kepmendagri yang diterbitkan kemudian. Dikaitkan dengan otonomi daerah, hal ini menjadi sumber sengketa bagi daerah.
Peringatan tersebut pernah dilontarkan Direktorat Perbatasan Kemendagri mengenai pentingnya penegasan perbatasan antar daerah.
Di dalam setiap UU Pembentukan Daerah Otonomi —baik provinsi maupun kabupaten/kota— belum didukung dengan batas daerah secara pasti di lapangan yang dilengkapi dengan titik koordinat. Hal seperti inilah yang kerapkali menimbulkan konflik batas antar-daerah —terlebih, jika daerah perbatasan yang diperebutkan mengandung sumber daya alam.
Peringatan Direktorat Perbatasan Kemendagri tersebut memang memerlukan perhatian yang lebih serius. Saat ini, sengketa batas wilayah kerap terjadi di di hampir semua wilayah pemerintahan di Indonesia.
Aturan Khusus tentang Batas Wilayah
Keputusan Pemerintah dan DPR yang menerbitkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian disusul dengan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dengan Daerah, tentu saja memberikan kebahagian tertentu bagi Pemerintah Daerah.
Ternyata pemberlakuan kedua perundangan ini juga mengundang masalah baru, khususnya pelaksanaan kekuasaan Pemerintah Daerah terhadap wilayahnya. Kini sejengkal tanah di daerah perbatasan menjadi amat berarti dan bisa menjadi sumber konflik.
Masalah lain yang juga perlu diatasi sebagai dampak ketidakjelasan batas wilayah adalah masih bervariasinya peta wilayah suatu daerah. Saat ini, peta wilayah masih bervariasi dan diterbitkan sejumlah instansi yang memang berkepentingan dengan batas wilayah, seperti Bakosurtanal, Departemen Kehutanan, dan lain-lain.
Dengan tidak adanya kepastian hukum mengenai perbatasan tersebut, kini tiap-tiap daerah otonom hanya mengakui peta wilayah yang hanya menguntungkan daerahnya saja. Itulah mengapa Kemendagri segera membentuk Tim Penetapan dan Penegasan Batas Daerah (TPPBD) yang bertugas menghilangkan potensi konflik batas antar daerah.
Selain membicarakan masalah batas wilayah Kota Kendari dengan Konawe Selatan, dan Kota Kendari dengan Konawe, dijadwalkan pula membicarakan sengketa batas Kabupaten Muna dengan Muna Barat, dan Kabupaten Konawe dengan Konawe Utara.
Dua agenda terakhir batal dilaksanakan. Dua kepala daerah yang diagendakan untuk bermediasi, Bupati Muna Rusman Emba dan Bupati Konawe Utara Ruksamin, harus mengikuti agenda resmi lainnya yang bertepatan waktu.
Pemkab Buton dan Muna Selesaikan Masalah Batas Wilayah
Sehari setelahnya, Rabu 19 Mei 2021, Sekda Setprov Sultra Nur Endang Abbas dan Ketua TPBD Kemendagri La Ode Ahmad Pidana Balombo, memimpin fasilitasi sengketa batas wilayah antara Kabupaten Muna dan Kabupaten Buton.
Perbedaan pemahaman mengenai batas wilayah tersebut merujuk dua area, yakni di wilayah Wagala yang diklaim Pemkab Buton, dan di area Jembatan S. Matakukuto yang diklaim Pemkab Muna.
Kedua pemkab telah menyetujui batas wilayah yang disepakati bersama itu kemudian dituangkan dalam Berita Acara Kesepakatan Nomor 39/BAD II/IX/V/202, yang ditandatangani Bupati Muna Laode Muhammad Rusman Emba dan Bupati Buton La Bakry yang disaksikan Sekda Setprov Sultra Nur Endang Abbas dan Ketua TPBD Kemendagri La Ode Ahmad Pidana Balombo.
Kedua pihak dan fasilitator menyepakati tiga hal: Pertama, Pemkab Muna dan Pemkab Buton sepakat menyelesaikan batas daerah dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi.
Kedua, Pemkab Muna dan Pemkab Buton sepakat menutup permasalahan dan dilanjutkan ke tahap penyusunan draft Permendagri dengan memperhatikan hak-hak masyarakat pada kedua daerah. Ketiga, Kemendagri akan melakukan penghalusan dalam penarikan garis batas Kabupaten Muna dengan Kabupaten Buton.
Ketua TPBD Kemendagri La Ode Ahmad Pidana Balombo mengungkapkan, saat UU Cipta Kerja disahkan, ternyata di seluruh tanah air masih menyisakan sengketa batas wilayah. Karena dapat mempengaruhi berbagai hal, termasuk investasi, sehingga sangat penting menyelesaikan masalah-masalah tersebut.
“Presiden RI hanya memberikan waktu enam bulan untuk menentukan batas wilayah masing-masing daerah. Makanya Kemendagri harus turun memfasilitasi penyelesaian batas wilayah ini. Kita akan melihat banyak aspek, termasuk aspek historikal pembentukan suatu kabupaten,” jelas La Ode Ahmad Pidana Balombo.
Kedua Kepala Daerah mendorong pesan positif terkait penetapan batas wilayah yang baru. Bupati Buton La Bakry menyampaikan bahwa Pemkab Buton menerima solusi terbaik dari fasilitasi tersebut, kendati tetap memperhatikan dua aspek, yakni; tidak akan mempengaruhi hak-hak warga kedua daerah tersebut secara administratif (hak-hak kepemilikan atas lahan), dan tidak mengurangi luasan wilayah Buton dan Muna.
“Kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan. Tida ada masalah terhadap warga Buton maupun Muna yang berkebun di sekitar wilayah perbatasan itu. Jangan ada pengusiran,” pesan Bupati Buton La Bakry.
Desa Lambelu, di Gunung Lambelu itu terdapat situs-situs penting berupa benteng dan makam para leluhur dan tokoh masyarakat Muna, sehinggi harus tetap dalam pemeliharaan Pemkab Muna sebagai situs kesejarahan. “Saya harap ini diselesaikan dengan sebaik-baiknya,” pesan Bupati Muna La Ode Muhammad Rusman Emba. []
Ilham Q. Moehiddin
Juru Bicara Gubernur Sultra
*Foto: JGS/Frans Patadungan © 2021.