Oleh Ilham Q. Moehiddin
“Alasan kecil mengapa para novelis makin menjauhkan diri dari para jurnalis
adalah bahwa para novelis berusaha untuk menulis kebenaran
dan para jurnalis berusaha menulis fiksi.”~ Graham Greene (1904-1991)
SINDIRAN Graham Greene, seorang penulis asal Inggris, itu terasa menyengat. Benar. Sinyalemen Greene akhirnya terbukti di abad milenium ini dengan ketampakan pertumbuhan jurnalis yang tidak linier dengan kebutuhan media akan jurnalis yang bermutu, jurnalis yang tidak menjual “berita”-nya semurah kacang goreng —sekaligus tidak menjual diri dan independensinya seharga besi tua.
Kehadiran “kerumunan jamur” macam itu memang sukar dihindari dengan merasa pahamnya banyak orang mengenai mekanisme pemberitaan; isu, pengecekan dan penelusuran fakta, olah data, konfirmasi, afirmasi, menyusun berita dan pemberitaan, serta tata cara menulis berita dengan baik dan benar.
Kerumunan jamur yang mudah dipilah; mana entitas yang benar-benar serius bermedia, dan mana entitas yang membebek pada jargonitas politis yang secara kompetensif mendepak sedemikian jauh standar kelayakan media.
Saya akan ulas sedikit esai seseorang yang memberi cap kepada dirinya sendiri sebagai “jurnalis” sembari menayangkan isu yang ia beri judul “Anggaran KONI Saat Dipimpin Agista Tahun 2020 Capai Rp 15 Miliar, Bertahun-Tahun Atap Asrama Dayung Berlubang Tak Terurus”, sebagai berita.
Tera kutipan judul yang baris kalimatnya saya italic itu tidak saya ubah, masih sesuai aslinya. Mari kita kupas bagian ini dulu.
Pertama, Ade sebagai subyek penulis tidak becus menera kalimat sebagai judul dalam esainya. Seharusnya judul ini ditera dengan tata tulis yang baik dan benar: “Anggaran KONI Saat Dipimpin Agista Tahun 2020 Mencapai Rp15 Miliar, Bertahun-tahun Atap Asrama Dayung Berlubang Tak Terurus.”
Pengetahuan teknik kebahasaan si Ade rupanya tidak sepanjang riwayatnya (konon) menjadi “jurnalis”. Ia bahkan tidak tau menera judul. Tidak tau bagaimana tata tulis kata ulang berimbuhan dalam format judul; tidak tau menulis angka sebagai kalimat (currency). Kita sudah melihat kesalahan-kesalahan fatal ini, bahkan saat kita baru berada di permukaan esainya.
Minimal, kita bisa saja segera tau mengapa ia terjebak dalam kotak apel.
Kedua, logika kata dan diksi. Obyek penulis rupanya tidak memiliki logika saat menera kata dan kalimat. Asal tersambung saja, maka cukuplah baginya sebagai sebaris kalimat yang “benar”. Sungguh tragis.
Perhatikan saat ia memulai kalimat pembukanya:
Asrama Dayung masih jadi polemik untuk dibangun atau direnovasi. Keadaanya sangat memprihatinkan. Fisiknya cukup rusak parah, atap berlubang, hingga lantai yang sudah lapuk.
Frasa polemik dan Asrama Dayung, ia rasakan mampu mewakili persoalan dan nama yang sesungguhnya terkait subyek yang ia maksud. Padahal makna Asrama PPLP Dayung dan Asrama Dayung sama sekali tidak menggambarkan subyek yang sama. Sekali lagi, sungguh tragis nalarnya.
Pada bagian lain, di sekujur tulisan, berlumur kekeliruan demi kekeliruan berbahasa dan tata tulis. Pada dasarnya tulisan ini adalah opini berformat esai, yang oleh si penulis ingin disebut sebagai “berita”. Tidak ada kefatalan prasangka yang melebihi ini.
Tidak Menghadirkan Fakta dan Konfirmasi Baru
Opini demi opini dalam format esai yang sedang kita ulas ini berlumur prasangka dan dipenuhi data yang tidak akurat. Segera saja tercium aroma “pesanan”.
PPLP adalah akronim dari Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar yang berada di bawah wewenang dan tanggung jawab Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) suatu provinsi. Artinya, PPLP Dayung Sulawesi Tenggara berada di bawah tanggung jawab Dispora Provinsi Sulawesi Tenggara. Bukan KONI Sultra, atau bukan Pengurus Daerah Cabang Olahraga (Pengda Cabor), atau yang lainnya. PPLP didirikan sebagai pusat pendidikan teori dan pelatihan teknik beragam cabang olahraga yang sumber dayanya diambil dari kalangan pelajar. Jumlah PPLP bisa banyak di suatu provinsi dan sesuai kebutuhan provinsi bersangkutan. Perkembangan suatu PPLP kurang lebih dipengaruhi kondisi keuangan daerah, dan kehendak serta kebijakan politik pemerintah daerahnya.
KONI Pusat/KONI Daerah memiliki kewenangan pembinaan olahraga, sekaligus pembinaan Pengurus Pusat/Pengda Cabor. Kecuali olahraga, KONI Pusat/KONI Daerah tidak dapat mencampuri urusan internal Pengurus Pusat/Pengda cabor. Konstruktifitas hubungan kedua lembaga ini menjadikan KONI tidak bisa mengurusi secara teknis sebuah kejuaraan daerah atau kejuaraan nasional.
Terkait penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON), KONI Daerah berkewenangan penuh dalam Seleksi Daerah (Selekda) atlet yang akan berlaga pada cabor yang diikuti dalam PON. Seleksi daerah atlet sama sekali bukan kewenangan Pengda Cabor, sebab pada PON, atlet mewakili provinsi, bukan Pengda Cabor.
Secara hierarki pun demikian, KONI Pusat juga berkewenangan dalam Seleksi Nasional (Seleknas) untuk kontestasi olahraga regional Asia Tenggara, Asia, dan Kejuaraan Dunia, bukan oleh Pengurus Pusat Cabang Olahraga. Sementara jenjang olimpiade berada di bawah kewenangan Komite Olimpiade Indonesia (KOI).
Hierarki semacam ini harus dipahami dulu sebelum beranjak membahas hal-hal lain, sehingga tidak terjebak pada kesoktahuan.
Kembali ke soal Asrama PPLP Dayung Sultra, tidak benar bahwa infrastruktur ini diabaikan. Ada rangka bangunan berbahan beton yang sudah lama berdiri di sisi Asrama PPLP Dayung Sultra yang lama. Hal tersebut membuktikan bahwa perhatian pemerintah pada PPLP Dayung Sultra masih ada. Peningkatan kapasitas infrastuktur ini masih terus dilakukan sesuai kondisi keuangan daerah.
Kunjungan terakhir dari instansi pengampunya dilakukan oleh Yusmin, Plt. Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Provinsi Sultra. Pada kunjungannya, Yusmin sempat mengutarakan akan melakukan renovasi menyeluruh pada fisik Asrama PPLP Dayung Sultra. Pernyataan tersebut dikesankan sepihak oleh media sebagai “aksi setelah ucapan”. Padahal yang dimaksud Plt. Kadispora Sultra adalah; peningkatan kapasitas fisik Asrama PPLP Dayung Sultra baru akan dilakukan jika anggaran Dispora telah cair sepenuhnya dari BPKAD Sultra.
Faktanya, sampai triwulan pertama T.A. 2021, anggaran Dispora dan sejumlah kedinasan lainnya belum juga dicairkan, sehingga banyak program kerja untuk sementara belum dapat direalisasikan. Pada proses pembangunan fisik insfrastruktur, waktu pada tahapan ini pun masih harus melalui uji desain, revisi desain, dan finalisasi desain, sebelum berlanjut ke tahapan konstruksi bangunan.
Di sisi lain, kendati tidak harus digunakan, mekanisme Corporate Social and Responsibility (CSR) sektor pertambangan memang paling mungkin dijadikan alternatif pendanaan. Tetap harus diketahui bahwa pemanfaatan CSR tidak selekas yang dikira. Selain CSR memiliki delapan bentuk peruntukan, ada sejumlah mekanisme pelaporan yang harus dilakukan sebelum CSR dapat diserap subyek sosial. Namun, bagi Dispora Sultra, mekanisme CSR sektor pertambangan adalah bentuk pendanaan alternatif —sekaligus afirmatif.
Sumber pendanaan lainnya, dalam bentuk hibah lembaga kementerian. Inilah alasan mengapa Plt. Kadispora Sultra mengajak Deputi Bidang Pemberdayaan Olahraga Kemenpora RI (POK-RI) Raden Isnanta, melakukan peninjauan pada Asrama PPLP Dayung Sultra. Deputi POK-RI menyebut bahwa fasilitas tersebut tidak layak huni dan memandang perlu dilakukannya perbaikan secepatnya. Dispora Sultra sesungguhnya menghendaki pembiayaan melalui hibah seperti ini. Dalam perkembangannya, kunjungan Deputi POK Kemenpora-RI Raden Isnanta menghasilkan sejumlah kesepakatan bantuan yang akan berujung pada realisasi pembangunan Asrama PPLP Dayung Sultra.
Ini adalah aksi konkret yang sedang dilakukan Dispora Sultra, tinimbang mendengar ocehan “jurnalis” yang menulis esai berisi opini-opini berlogika miring, dan menganggapnya sebagai berita. Ia merasa ungkapan fiksional lebih menarik untuk diberikan kepada publik daripada fakta-fakta empirik yang tidak diketahuinya sama sekali.
Terkait dengan anggaran KONI Sultra yang disebut-sebut dalam esai Ade itu, berjumlah Rp15 Miliar —kendati berjumlah besar, sama sekali tidak memiliki hubungan nomenklaturis anggaran dengan lembaga mana pun dalam pemerintah provinsi dan pemerintah daerah lain di Sultra. Postur anggaran KONI Sultra, KONI kab./kota, dan KONI di seluruh Indonesia direalisasikan berupa fasilitas fisik milik KONI dan hibah/bantuan peralatan olahraga. KONI tidak akan melanggar ketentuan perundang-undangan dan kebijakan anggarannya dengan merenovasi fasilitas milik pemerintah daerah.
Ketahuilah, bahkan Asrama PPLP Dayung Sultra pun bukan fasilitas milik Pengda PODSI Sultra, dan tidak dapat dikelola oleh Pengda PODSI Sultra. Lembaga ini hanya memiliki hak pembinaan, mendorong, dan rewarding terkait prestasi para atlet dayung.
Frasa yang dikembangkan Ade dalam esainya yang menyangka sebaliknya, justru memperlihatkan mutu rendahnya sebagai “jurnalis”. Akurasinya bias, tidak becus melakukan riset, dan memiliki kemampuan diboncengi kepentingan di luar tugas dan kewajiban seorang jurnalis sesungguhnya.
Terkait dua lembaga yang ia sebut dalam esai yang ia kira “berita” itu, Ade bahkan tidak melakukan konfirmasi kepada tiga sumber pertama; Yusmin (Plt. Kadispora Sultra), Raden Isnanta (Deputi POK-RI), dan Ibu Agista Ariany (Ketua Umum KONI Sultra).
Tidak ada pernyataan baru dari Plt. Kadispora Yusmin, kecuali kutipan-kutipan yang diambil Ade dari pemberitaan sebelumnya dari sejumlah media. Bahkan Ade tidak mengonfirmasi Ibu Agista Ariany terkait nomenklatur anggaran KONI Sultra, atau mengonfirmasi Raden Isnanta mengenai kelanjutan dan bentuk realisasi dari kunjungannya.
Tidak ada sama sekali. Kerja “jurnalistik” yang benar-benar berantakan dari seorang medioker.
Dari respon singkat ini, publik dapat mengetahui bagaimana preposisi isu yang disiarkan oleh media online rightnewskendari, dan seperti apa motif Ade menuliskan esainya dengan beropini secara telanjang, tidak logik, dan tidak berdata.
Paska Musprov Pengda PODSI Sultra
Sejumlah “serangan” yang diarahkan kepada Dispora Sultra dan KONI Sultra, akhir-akhir ini, begitu sangit beraroma pesanan, paska adanya perbedaan pendapat dalam tubuh Pengurus Daerah Persatuan Olahraga Dayung Seluruh Indonesia (PODSI) Sultra.
Seusai musyawarah provinsi (Musprov) PODSI Sultra, sukar dibendung realitas dualisme yang terjadi. Adanya kubu yang tidak menghendaki kepemimpinan Abdurrahman Shaleh, segera menampakkan ketimpangan prestasi yang dicapai PODSI Sultra selama ini.
Raihan sembilan emas pada PON 2004 dan PON 2008, langsung anjlok saat PODSI Sultra dipimpin Abdurrahman Shaleh. Pada PON 2012 di Riau Sultra hanya mampu membawa pulang dua emas, dan pada PON 2016 hanya lima emas “Ini membuktikan bahwa dayung yang selama ini olahraga andalan Sultra sangat mengalami kemunduran” kata Lasmin, salasatu pengurus PODSI Sultra Periode 2016-2020, sebagaimana dikutip dari laman media online Fajarsultra, 17 September 2020.
Karena ketidakmampuannya memimpin PODSI Sultra, ada sembilan Pengcab PODSI yang menolak Abdurrahman Shaleh sebagai ketua. Mewakili sembilan Pengcab, Ketua Pengcab PODSI Muna, Herman Harun pernah menyatakan penunjukan Abdurrahman Shaleh sebagai Ketua PODSI Sultra oleh PB PODSI cacat prosedur, sebagaimana dikutip laman media online Durasisultra, 1 Maret 2021.
Pada laman yang sama, kegagalan Abdurrahman Shaleh memimpin PODSI Sultra selama dua periode juga disuarakan oleh Ketua Pengcab PODSI Kolaka Utara, Safruddin. “Pak ARS ini sebenarnya harus intropeksi diri, selama dua periode pimpin PODSI Sultra hampir tidak ada perubahan dan saya katakan gagal,” kata Safruddin pada laman tersebut.
Penolakan demi penolakan dari sembilan Pengcab PODSI Sultra terhadap niat Abdurrahman Shaleh memimpin Pengda PODSI Sultra untuk periode ketiga, seperti memberi sinyal pada kekisruhan berikutnya; Seleksi Daerah Cabor Dayung Sultra untuk PON ke-XX Tahun 2021 di Papua.
Selekda Cabor Dayung (21 – 24 Maret 2021) yang diikuti oleh seratus lebih atlet dayung dari seluruh kabupaten/kota dan dilaksanakan oleh —sekaligus tanggung jawab— KONI Sultra sebagai promotor dan pengampu atlet Sultra pada kegiatan PON, berusaha diboikot oleh Pengda PODSI Sultra, dengan berusaha membuat selekda bayangan yang hanya diikuti belasan atlet dari dua kabupaten, berupa “seleksi darat” di tempat berbeda.
Padahal, selain legalitas pelaksanaan seleksi atlet, selekda yang dilakukan KONI Sultra menggunakan uji lengkap dan terukur, berdasarkan parameter target medali.
Pelaksanaan Selekda Cabor Dayung oleh KONI Sultra telah berakhir dan menghasilkan 42 atlet yang akan mewakili Sulawesi Tenggara pada PON ke-XX Tahun 2021 di Papua. KONI Sultra tidak membutuhkan para oportunis yang hanya melihat olahraga dalam frame profit oriented dan political oriented.
Respon singkat ini saya tutup dengan kutipan Adlai E. Stevenson II (1900 – 1965), seorang politikus asal Amerika Serikat, sindirannya mewakili bagaimana “kinerja” jurnalis dan hubungan konkretnya dengan para politikus.
“Jurnalis tidak hidup dengan kata-kata saja, meski terkadang mereka harus memakannya.” []
*Foto: JGS/Frans Patadungan © 2021; Ali Mukti © 2021.