Oleh Ilham Q. Moehiddin
SECARA terminologis, setiap kata memiliki acuan spesifiknya. Maka dalam psikologi bahasa, kata atau kalimat mampu mendorong perspektif dalam pemahaman yang sederhana atau sama sekali baru.
Bahasa (dalam hal ini; kata dan kalimat) seringkali dipaksa harus menjadi apa yang kita inginkan, bukan apa yang diinginkan publik, sehingga pesan yang ingin disampaikan pada akhirnya bukan menjadi domain publik. Bahasa kemudian menjadi jebakan dalam frame politis yang dampaknya lebih praktis dari kebahasaan itu sendiri. Ketika sepetikan kalimat berbahasa asing harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, jebakan psikologis juga terbentuk di dalamnya, di saat bersamaan.
Kalimat New Normal, yang kemudian diterjemahkan serampangan menjadi; Kenormalan Baru, akhirnya memperlihatkan dampak negatifnya. Kalimat pendek ini seketika menjadi bias secara maknawi, atau memiliki kelemahan fundamental secara psikologis. Pengguna akan sukar menentukan preposisi pemaknaan yang tepat berkenaan dengan hal-hal baru dalam rujukan kondisi normal di saat pandemik, pada kalimat tersebut.
Seterkaitan kalimat itu dengan pola hidup di masa pandemik, maka akan memunculkan pertanyaan yang baru pula; Apanya yang baru? Apanya yang normal? Seperti apa hal-hal baru yang normal itu? Kenormalan baru apa yang harus dilakukan, dan kenormalan apa yang harus ditinggalkan/disesuaikan? Apakah selama ini pola hidup publik tidak normal?
Serangkaian besar pertanyaan itu memang sangat mengganggu. Pemaknaan akan kian bias saat otoritas terkait membuat material kampanye yang kemudian dipasang di area publik.
Ya. Pertanyaan publik menjadi lebih banyak dari makna yang hendak kita sampaikan. Maksud menjadi buram sama sekali. Publik kemudian tergelincir dalam pemaknaannya sendiri —masing-masing.
Apakah Maksud dari Kenormalan Baru?
Adakah selama ini laku publik kita tidak normal, sehingga butuh suatu kenormalan baru? Apakah “kenormalan” itu? Apakah jika menggunakan masker setiap saat, rajin mencuci tangan dengan sabun/hand sanitizer, dan menjaga jarak fisik, adalah suatu kenormalan dalam masyarakat kita —masyarakat Indonesia?
Tentu saja tidak. Hal-hal itu tidak normal sama sekali. Kenormalan yang dikenali masyarakat kita adalah; menyapa, berjabat tangan (bahkan mencium tangan para sepuh), berpelukan, cipika-cipiki, bermusyawarah, dan banyak hal akrab lainnya. Selain kebiasaan-kebiasaan tersebut, maka bukanlah suatu kenormalan bagi masyarakat kita.
Betapa kalimat “kenormalan baru” berada jauh di luar nalar umumnya publik kita.
Ketidaksampaian nalar publik inilah yang menyebabkan gelombang kedua penyebaran. Angka penderita positif Covid-19 di banyak tempat di Indonesia tiba-tiba melonjak. Sulawesi Tenggara pun demikian. Dalam sepekan terakhir, Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 Prov. Sultra mencatat kasus kumulatif positif Covid-19 di Sultra mencapai 500 orang, dengan kematian mencapai sembilan orang.
Ini tentu mengejutkan. Pemerintah dan semua elemen yang telah bekerja meredam dan berusaha sekuat tenaga memutus rantai pandemi, tiba-tiba dikagetkan dengan kehadiran kasus paparan dan klaster baru yang random. Publik terlanjur menerjemahkan bahwa “kenormalan baru” adalah masa berakhirnya pandemik Covid-19. Dengan bahasa yang maknai sebegitu sederhananya; bahwa pemerintah sudah mencabut status darurat bencana dan publik sudah boleh kembali ke kehidupan normal, tanpa masker, tak perlu sering mencuci tangan, dan tidak lagi memerhatikan jarak dalam kontak fisik.
Lokasi-lokasi yang kerap menjadi titik kumpul publik, mendadak ramai kembali. Sarana hiburan dan pusat berbelanjaan beraktifitas seperti dulu. Orang-orang sedemikian bebasnya berinteraksi tanpa protokol kesehatan. Maka upaya berbilang bulan untuk menghentikan pandemi virus corona, seolah pupus dalam hitungan hari. Gelombang kedua penyebaran Covid-19 yang kita cemaskan akhirnya benar-benar terjadi. Otoritas terkait seperti dipaksa memulai upaya penanganannya dari awal lagi.
Semua ini terjadi hanya karena kekeliruan publik memahami sebuah istilah. Gubernur Sultra Ali Mazi, sebenarnya telah mencemaskan hal ini setelah otoritas terkait memublikasikan istilah itu pertama kali. Di beberapa kesempatan berbeda, Gubernur Ali Mazi mencurigai istilah itu kemungkinan besar akan disalahtafsirkan, sebab kata “normal” bisa saja diterjemahkan secara harfiah. Dalam sepekan ini, kecemasan Gubernur Ali Mazi terbukti. Beliau memerintahkan intansi terkait untuk mengubah redaksi di banyak medium kampanye untuk merevisi anggapan publik dan membentuk pemahaman yang benar terkait frasa new normal yang dimaksud.
Kita membicarakan pola yang komunal. Pola yang mampu diterima, dan tidak arbitrer. Hadirnya pola baru belum tentu diterima untuk menjadi suatu kebiasaan. Perlu konsensus dan ketika ia mendapat tempat, maka hal-hal baru itu akan menjadi kebiasaan. Ya, suatu kebiasaan baru.
Kebiasaan Baru, adalah frasa yang paling tepat untuk mendorong makna sesungguhnya dari kalimat berbahasa asing “New Normal”. Kalimat ini, mula-mula disampaikan dalam pernyataan Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kepala World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia), Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kutipan pernyataan Tedros; Transition to a ‘new normal’ during the COVID-19 pandemic must be guided by public health principles—(;statement).
Frasa “New Normal” itu dipetik dan diafirmasi oleh banyak pemerintah dunia, menjadi bagian dalam imbauan, dan diterjemahkan sesuai kebutuhan di negara masing-masing. Sayangnya, otoritas kesehatan di Indonesia sedemikian terburu-buru mengonfirmasi tanpa memeriksa struktur frasa pendek itu, dan semena-mena menerjemahkannya secara tekstual. Padahal, new normal lebih kontekstual; lebih dialektik dan luwes.
Kalimat Kebiasaan Baru akan terdengar lebih akrab dan jelas. Nalar publik akan lebih leluasa menafsirkan sesuai keadaannya masing-masing. Imbauan untuk selalu menggunakan masker, mencuci tangan dengan sabun/hand sanitizer, dan menjaga jarak fisik minimum dalam segala aktifitas, adalah serangkaian kalimat yang sarat kata kerja. Hal-hal yang kemudian dibiasakan, bukan justru berusaha dinormalkan. Anda tidak akan mungkin menormalkan sesuatu kondisi yang tidak normal, tetapi membiasakan diri dengan berbagai perilaku baru lebih dapat diterima.
Dalam terminologi pandemik virus dengan beragam pola penyebarannya yang masif, masyarakat kita harus diajak membiasakan diri dengan beragam cara untuk memutus penyebaran virus. Masyarakat harus terbiasa menggunakan masker di manapun ia berada; masyarakat harus terbiasa mencuci tangan dengan sabun; terbiasa mandi sesuai beraktiftas di luar rumah; terbiasa meminimalisir kontak fisik (menjaga jarak antar orang, mengunakan sarung tangan ketika mengerjakan sesuatu, dan membiasakan diri mengatur jarak dalam pertemuan); membiasakan diri berolahraga atau mengonsumsi pangan untuk tujuan meningkatkan imunitas tubuh.
Hal-hal baru di atas perlu dibiasakan untuk mengantikan kebiasaan lama pada hubungan sosial dalam masyarakat kita. Mengganti kebiasaan lama memang perlu waktu. Namun waktu panjang yang kita gunakan dalam proses pergantian kebiasaan itu akan menjamin virus (Covid-19 dan beragam virus mematikan) yang dapat merusak kesehatan kita, menjadi apendemik atau terhenti penyebarannya.
Perubahan dan pergantian kebiasaan bukanlah suatu hal yang luar biasa. Juga tidak perlu dicemaskan akan mengubah adat-istiadat atau bahkan kepercayaan kita. Kebiasaan-kebiasaan yang pernah kita lakukan sebelum pandemi Covid-19 melanda, adalah juga kebiasaan-kebiasaan baru yang pernah menggantikan kebiasaan lama sebelumnya. Kebiasaan lama menggunakan baju dari kulit hewan, berhasil digantikan dengan kebiasaan baru menggunakan katun. Kebiasaan lama menggunakan jemari saat makan, berhasil digantikan oleh kebiasaan baru menggunakan sendok. Bahkan kebiasaan lama kita merebus air untuk minum, kini tergantikan dengan kebiasaan menggunakan air minum (dalam kemasan/galon) yang disterilkan menggunakan sinar ultra violet.
Sebagaimana di waktu sebelumnya, kini kita hanya perlu memberi kesempatan pada kebiasaan-kebiasaan baru itu untuk berproses menggantikan kebiasaan-kebiasaan lama, dan semoga menjadi jaminan bagi kesehatan kita. []
*) Ilham Q. Moehiddin, adalah Sastrawan Indonesia dan kini bekerja sebagai Juru Bicara Gubernur Sulawesi Tenggara