Oleh Ilham Q. Moehiddin
INVESTASI dan semua perubahan kebijakannya di Indonesia, bergerak dinamis dalam satu dasawarsa terakhir. Indonesia mengalami booming investasi dengan pencapaian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penanaman Modal Asing (PMA) bergerak naik setelah Pemerintah Indonesia memangkas rantai birokrasi yang menjebak para calon investor di berbagai sektor, yang sangat nampak kontraproduktif dengan program pemerintah pusat dan daerah untuk membuka seluas-luasnya lapangan kerja. Meluasnya prospektus lapangan kerja secara langsung akan mengerek tinggi perolehan devisa dan fiskal.
Namun, masalah tidak selesai di sana. Lapangan kerja yang telah terbuka itu menyisakan banyak potensi masalah yang sedang disesuaikan regulasinya. Sektor pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) telah melampaui ekspektasi secara kompetitif. Badan Pusat Statistik Nasional (BPSN) mencatat, pada 2019, jumlah TKI yang bekerja di luar negeri bertambah 276.553 orang. Data tersebut merupakan data pekerja migran yang bekerja dengan dokumen resmi, sehingga belum terhitung mereka yang ke luar negeri tanpa dokumen lengkap. Dari total pekerja migran asal Indonesia itu, sebanyak 69,15 persen merupakan TKI perempuan.
Sampai akhir 2019 itu, ada 10 negara yang tercatat menerima TKI dalam jumlah yang signifikan, yakni; Malaysia (79.662 orang), Taiwan (79.574 orang), Hong Kong (70.840 orang), Singapura (19.354 orang), Arab Saudi (7.018 orang), Korea Selatan (6.193 orang), Brunai Darussalam (5.639 orang), Italia (1.349 orang), Kuwait (782 orang), dan UEA (578 orang).
Data Kemenaker dan Bappenas, mencatat hingga April 2020, ada 2,347 orang TKI (termasuk TKI asal Sulawesi Tenggara) yang diberangkatkan ke berbagai negara tujuan. Sampai akhir 2019, penempatan TKI sejumlah 276.553 orang, terdiri dari 133.993 orang TKI Formal dan 142.560 orang TKI Informal (yang melebihi 50 persen angka TKI Formal). Data perkembangan TKI yang bekerja di luar negeri dari tahun ke tahun dapat dilihat pada situs Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Jumlah TKI kita memang besar.
Mengakumulasi data-data sejenis dari berbagai lembaga ketenagakerjaan di semua negara di seluruh dunia, hingga akhir 2019, World Bank bahkan mendapati jumlah TKI mencapai sekitar 9 juta orang. Sekali lagi, itu angka resmi. Angka ini belum menghitung mereka yang bekerja secara ilegal atau tanpa dokumen resmi.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Republik Tiongkok menempati negara urutan teratas yang “diserbu” oleh TKI. Saat ini, TKI di Tiongkok sekitar 350.000 orang yang tersebar di Hong Kong, Makau, dan Taiwan. Sementara itu, jumlah TKA asal Tiongkok yang kerja di Indonesia sekitar 24.800 orang.
Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang ditandatangani Presiden Joko Widodo, sesungguhnya bertujuan mempermudah investasi dari luar negeri masuk ke Indonesia, namun tidak menghilangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh TKA untuk bisa bekerja di Indonesia.
Politisi Lokal dan Investasi Strategis Nasional
“Serbuan TKA” menjadi salah satu isu yang paling sering berhembus di tahun politik ini. Para politisi lokal kubu parpol oposisi seringkali menggunakan isu TKA sebagai bahan kritikannya terhadap pemerintah. Selain miskin taktik politik dan tampak konyol, menurut Ekonom Faisal Basri, penggunaan isu “serbuan TKA” di Indonesia itu dihembuskan dengan data yang sangat keliru.
Pernyataan-pernyataan para politisi —dan para buzzer-nya— tentang TKA yang telah mengambil lahan pekerjaan di Indonesia memang tidak ditopang data akurat. Jumlah TKA di Indonesia pada akhir 2019 bertambah mencapai 95.335 orang. Angka itu juga jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah TKI di luar negeri yang jumlahnya hampir 80 kali lipat, atau 9 juta orang. Jumlah TKA hanya sebesar 0.04% dari total penduduk Indonesia yang mencapai 268 juta jiwa atau sebesar 0,07% dari total angkatan kerja nasional.
Para TKI pada 2019 lalu juga mengirimkan US$.11 miliar atau Rp.154 triliun ke di Indonesia. Ini devisa yang sangat besar, jika dibandingkan dengan remitansi TKA yang hanya sebesar US$.3,4 miliar. Dalam perbandingan neraca devisa, Indonesia menikmati surplus sebesar US$.7,6 miliar.
Sementara itu, di Sulawesi Tenggara, “keributan terstruktur” sedang dijalankan untuk kepentingan sejumlah politisi lokal. Keributan itu berbanding terbalik dengan janji politik mereka tentang pemenuhan lapangan kerja, yang sekaligus memunggungi kepentingan Investasi Strategis Nasional.
Sejumlah TKA dengan spesifikasi tenaga ahli teknik yang didatangkan PT. Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dan PT. Obsidian Stainless Steel (OSS) untuk merampungkan proses instalasi dan perakitan puluhan tungku smelter (peleburan) berusaha dicegah masuk ke wilayah operasi kedua perusahaan itu. Padahal dua perusahaan ini berada dalam Kawasan Industri Nasional (KIN) yang merupakan kawasan industri strategis nasional, dan keduanya bergerak di hilir dalam mata rantai sektor pertambangan. Sesuai perundangan Minerba, mineral hasil tambang Indonesia harus keluar dalam bentuk olahan/lantak. Di sisi lain, penyelesaian puluhan unit smelter itu akan menyerap 3.000 tenaga kerja Indonesia.
Boleh jadi, keributan menyoal TKA pada unit peleburan (sektor hilir) sengaja didorong, untuk menutupi banyak masalah besar yang justru masif terjadi di sektor hulu (eksploitasi pertambangan) yang kerap melibatkan para politisi lokal.
Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Provinsi Sultra, saat ini ada 14 perusahaan di Sultra yang menggunakan jasa TKA. Hingga Desember 2017, dari 29.000 tenaga kerja yang terserap di Sultra, jumlah TKA hanya 2.500 orang. Angka ini menunjukkan prosentasi keberadaan TKA hanya 9%.
Keberadaan TKA Tiongkok pada sektor pertambangan di Sultra dalam kurun satu tahun terakhir cukup besar. Kantor Imigrasi Kelas I Kendari pernah mencatat, dalam kurun waktu Januari hingga November 2017, ada 15.950 warga Tingkok dalam daftar permohonan pengurusan izin tinggal kunjungan. Dari jumlah itu, kebanyakan dari mereka hendak masuk ke Sultra dengan tujuan pembicaraan bisnis (melamar pekerjaan) di PT. VDNI dan PT. OSS.
Selain mengajukan izin tinggal kunjungan, beberapa di antaranya mengurus izin tinggal terbatas. Urutan permohonan izin semacam itu sudah sesuai dan tidak melanggar peraturan keimigrasian Indonesia. Pola pengurusannya pun tidak bersamaan (berselang bulan). Otoritas keimigrasian Indonesia menyatakan bahwa hal tersebut tidak perlu dicemaskan, sebab bentuknya hanya permohonan, dan persetujuannya perlu banyak pertimbangan, termasuk apakah tidak melanggar Perpres 20/2018.
Dalam beberapa modus, terungkap pula bahwa TKA (dari semua negara asal) yang datang ke Indonesia memegang Visa Kunjungan. Jika kemudian ada yang mensponsori (PMA/PMDN), maka mereka akan memperpanjang menjadi Izin Tinggal Kunjungan. Secara prosedural, hal semacam itu memang diatur.
Bagi mereka, Visa Kunjungan memang tidak mereka gunakan untuk bekerja, tetapi untuk datang ke Indonesia dan menegosiasikan pekerjaan. Jika kemudian ada perusahaan yang membutuhkan keahlian mereka, maka barulah mereka bisa mengurus Kartu Izin Tinggal Kunjungan dan Izin Tinggal Tetap.
Izin Tinggal Tetap adalah sejenis perizinan yang diurus oleh pimpinan perusahaan investasi yang kurang lebih tiga tahun telah bekerja/berada di Indonesia. Sedangkan TKA yang hanya bekerja dalam jangka waktu enam bulan, hanya mengurus Kartu Izin Tinggal Kunjungan.
Ketatnya prosedur di keimigrasian, sangat tidak memungkinkan ditemukan adanya TKA ilegal. Sebab sebelum masuk di Kendari, para TKA harus melewati Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di Bandar Udara Internasional. Setiap orang asing yang keluar dan masuk harus melapor ke bagian TPI, yang dikontrol lewat Boarding Control Management (BCM). Di bagian itulah akan ketahuan siapa saja orang asing dengan peruntukan visa tertentu atau ketentuan waktu pada visanya telah habis. Jika batas waktunya lewat, maka akan ada denda. Sedangkan bagi yang melencengkan tujuan visanya, akan diusulkan untuk pendeportasian.
Pada Perpres 20/2018 ditegaskan juga mengenai VITAS (Visa Tinggal Terbatas). Setiap TKA yang bekerja di Indonesia wajib memiliki Visa Tinggal Terbatas (VITAS untuk bekerja), yang dimohonkan oleh Pemberi Kerja TKA atau TKA kepada menteri yang membidangi urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia atau pejabat yang ditunjuk, dengan melampirkan notifikasi dan bukti pembayaran. Hal ini dijelaskan pada Pasal 20 ayat (1); permohonan VITAS sebagaimana dimaksud sekaligus dapat dijadikan permohonan Izin Tinggal Sementara atau Itas.
Pertimbangan untuk mendukung perekonomian nasional dan perluasan kesempatan kerja melalui peningkatan investasi, pemerintah memandang perlu pengaturan kembali perizinan penggunaan TKA.
Atas dasar pertimbangan itulah, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Dalam Perpres itu disebutkan, bahwa penggunaan TKA dilakukan oleh Pemberi Kerja dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, yang dilakukan dengan memperhatikan kondisi pasar tenaga kerja dalam negeri.
Sangat jelas, bukan? Tentu saja. Bahwa Perpres itu sangat memihak tenaga kerja dalam negeri, dan memberi proporsi yang tepat bagi TKA sesuai keahlian dan kebutuhan alih daya. Dalam dua kali kesempatan dalam dua pertemuan berbeda, Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Ali Mazi menyampaikan preposisi Peppres itu terkait isu penolakan TKA oleh sejumlah kecil kelompok.
Setiap Pemberi Kerja TKA, menurut Perpres ini, wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia pada semua jenis jabatan yang tersedia. Dalam hal jabatan, sebagaimana dimaksud belum dapat diduduki oleh TKI, maka jabatan tersebut dapat diduduki oleh TKA, sebagai mana bunyi Pasal 4 ayat (1,2) pada Perpres tersebut; TKA dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.
Perpres tersebut juga menegaskan, bahwa Pemberi Kerja TKA pada sektor tertentu dapat mempekerjakan TKA yang sedang dipekerjakan oleh Pemberi Kerja TKA yang lain dalam jabatan yang sama, paling lama sampai dengan berakhirnya masa kerja TKA sebagaimana kontrak kerja TKA dengan Pemberi Kerja TKA pertama. Adapun jenis jabatan, sektor, dan tata cara penggunaan TKA sebagaimana dimaksud, menurut Perpres tersebut, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
Ditegaskan pula dalam Perpers; setiap Pemberi Kerja TKA yang menggunakan TKA harus memiliki RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk, dan sedikitnya memuat: alasan penggunaan TKA; jabatan atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan; jangka waktu penggunaan TKA; dan penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan.
Dalam Perpres tersebut jelas disebutkan, bahwa untuk pekerjaan yang bersifat darurat dan mendesak, Pemberi Kerja TKA dapat mempekerjakan TKA dengan mengajukan permohonan pengesahan RPTKA kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk paling lama 2 (dua) hari kerja setelah TKA bekerja. Selanjutnya, pengesahan RPTKA akan diberikan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
Bahkan Perpres ini menegaskan kepada Pemberi Kerja TKA yang akan mempekerjakan TKA menyampaikan seluruh data calon TKA, salasatunya dokumen atau surat keterangan pengalaman kerja, atau sertifikasi kompetensi sesuai dengan syarat jabatan yang akan diduduki TKA.
Pemberi Kerja TKA wajib membayar dana kompensasi penggunaan TKA yang dipekerjakan dan dilakukan melalui bank yang ditunjuk oleh Menteri, yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. Namun, pembayaran dana kompensesi penggunaan TKA dan kewajiban memiliki RPTKA, tidak wajib lembaga yang mempekerjakan TKA sebagai tenaga ahli di instansi pemerintah, perwakilan negara asing (konjen/kedutaan), badan internasional (PBB), dan badan/lembaga sosial. Ini bentuk keuntungan bagi daerah (PAD) yang akan saya jelaskan di bagian lain dalam rangkaian tulisan ini.
VITAS diberikan kepada WNA/TKA sebagai izin tinggal sementara di Indonesia paling lama dua tahun. Lamanya waktu tinggal ini juga diatur dalam 10 tujuan, yang dua di antaranya adalah; Bekerja sebagai tenaga ahli; dan Orang Asing dalam rangka penanaman modal.
Dalam isu yang didorong oleh Abdurrahman Saleh, dua hal itu telah mengugurkan persangkaan terkait jenis Visa dan tujuan TKA didatangkan oleh PT. VDNI dan PT. OSS (Pemberi Kerja TKA) ke KIN di Morosi, Kabupaten Konawe, Sultra.
Ditegaskan dalam Perpres ini, setiap Pemberi Kerja TKA wajib menjamin TKA (yang mereka datangkan) dan mendaftarkan mereka dalam Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau polis asuransi di perusahaan asuransi berbadan hukum Indonesia, bagi TKA yang bekerja lebih dari 6 (enam) bulan. Kewajiban ini sekaligus menjadi keuntungan bagi perusahaan asuransi Indonesia. []
*) Ilham Q. Moehiddin adalah Sastrawan Indonesia dan saat ini bekerja sebagai Juru Bicara Gubernur Sulawesi Tenggara.