Oleh Ilham Q. Moehiddin
SUATU siang di Buckau. Pekan pertama seusai pergantian musim di Jerman. Para pekerja belum sepenuhnya bisa datang dari libur musim semi. Distrik ini selalu saja mendadak ramai pada minggu pertama awal Juni. Tapi di tahun 1923, ada suasana berbeda di Saxony-Anhalt, ibukota negara bagian Magdeburg itu. Hujan yang datang sesekali, selalu mengangkat debu setinggi pinggiran atap.
Masih banyak pabrik yang belum buka sepenuhnya di Buckau. Distrik di mana kawasan industri ditempatkan di Saxony itu sedang bersiap-siap. Distrik Buckau terletak tepat di Elbe, di seberang bagian Selatan Lanskap-Park Rotehorn. Tidak seperti kota lain di Jerman, Buckau tidak sekadar dilayani feri menuju Rotehorn Park, kawasan itu juga memiliki stasiun kereta api sendiri dan dilayani dengan baik oleh biro transportasi umum.
Di dinding gudang Krupp Grusonwerk, tertempel kertas besar skema mesin volatis yang umum digunakan para penambang mineral di tahun 1888. Itu konsep rotary kiln (tungku berputar) untuk memurnikan bijian seng. Di sisi lain gudang itu, ada mesin bertabung sentri yang bocor besar. Itu mesin dengan fungsi serupa bikinan Edward Dedolph di tahun 1920. Lelaki itu yang mematennya pertama kali.
Secara konsep, dua sistim pada mesin-mesin itu mampu memurnikan mineral yang dipanaskan di dalamnya, namun tidak efisien dan ekonomis. Krupp tak mau mengikuti jejak Metallgesellschaft di Frankfurt yang mengembangkan mesin serupa. Entah pilihannya seperti apa? Sebab Chemische Fabrik Griesheim-Elektron seperti tidak siap memulainya dalam skala produksi.
Itulah tantangan bagi Krupp Grunsonwerk dan upaya itu telah rampung. Sebuah mesin bertanur dengan konsep baru siap mereka perlihatkan. Secara mandiri Krupp mengembangkan cara pemurnian yang mereka namakan Proses Waelz (frasa Jerman: Waelzen; pola gerakan material dalam tanur). Proses Waelz mendorong efisiensi dan ekonomisasi produksi.
Setelah Proses Waelz dipatenkan, ternyata tidak hanya Krupp Grusonwerk, di bawah bendera pemasaran Waelz-Gemeinschaft saja, yang terus mencari cara paling efektif dalam proses permurnian dengan sistem Rotary Kiln-Furnace (RKF/Pembakaran Tungku Berputar). Dalam seabad lebih telah banyak ilmuwan dan desainer industri yang terus-menerus menyempurnakan efektifitas sistem pembakaran dalam konsep tungku berputar itu. Jepang dan Tiongkok seolah berlomba agar konsep itu bisa dilakukan seefektif mungkin.
Bagian blast pada tungku model RKF itu awalnya menggunakan bahan bakar kayu, kemudian berganti minyak bakar (Marine Fuel Oil/MFO). Permurnian logam di Tiongkok umumnya menggunakan batubara kokas, yang banyak di sana. Di sejumlah negara yang tidak memiliki banyak cadangan batubara (salasatunya di Indonesia), investor smelter Tiongkok sampai harus mengimpor bahan bakar seperti itu dari negaranya sendiri. Maka saat harga batubara melambung, kegiatan pemurnian menjadi tidak ekonomis.
Sejak Tiongkok berhasil mengembangkan model Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF/Sistem Pembakaran Listrik Tungku Berputar, penggunaan batubara kokas pun perlahan ditinggalkan. Teknologi RKEF memang lebih ramah lingkungan, walau secara ekonomis menambah satu digit persentase biaya produksi, tetapi teknologi ini mampu memangkas habis penggunaan batubara dan MFO, termasuk tidak menyisakan sedikit pun limbah yang masih mengandung nikel. Listrik menjadi penggerak utama produksi. Sehingga kemudian, para enginer Tiongkok menyarankan para pengguna teknologi dan mesin yang mereka kembangkan ini, harus pula menyediakan pembangkit listrik mandiri untuk menghindari jeda produksi.
Pada proses pengolahan bijian nikel menjadi feronikel dengan teknologi RKEF dihasilkan debu di rotary dryer dan rotary kiln. Debu tersebut masih mengandung nikel. Untuk dapat diolah kembali, debu dibuat menjadi pelet dan diumpankan kembali ke rotary kiln. Jika pelet tidak padat, maka pelet cepat hancur dan kembali menjadi debu di rotary kiln.
Perakitan teknologi RKEF Tiongkok di dua pabrik pemurnian di kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, memang hanya bisa dilakukan oleh para enginer Tiongkok, agar teknologi itu dapat terpasang dengan tepat dan digunakan sesuai invetasi yang dikeluarkan.
Indonesia Kuasai Produksi Lithium Dunia
Pemerintah Republik Indonesia mendorong target pengolahan mineral dalam negeri. Pemenuhan target itu dengan mewajibkan seluruh eksportir mineral kadar rendah untuk mendirikan pabrik pemurnian, atau bekerja sama dengan perusahaan pemurnian lain yang sudah ada di Indonesia. Hal ini memerlihatkan bahwa perundangan Minerba yang baru itu jelas membuka lapangan kerja yang besar bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Semua mineral harus diolah dalam negeri, sehingga untuk itu memerlukan sangat banyak tenaga kerja. Tinimbang mengirim TKI ke luar negeri untuk menjadi pekerja di perusahaan asing dan sektor rumah tangga, jauh lebih baik mengundang perusahaan asing (investor) itu Indonesia. Lapangan kerja akan otomatis terbuka luas.
US Geological Survey mencatat, di sektor mineral nikel dan bauksit (bahan dasar aluminium) saja, Indonesia memiliki deposit nikel terbesar dunia dan deposit bauksit terbesar ke enam dunia. Mengenai deposit besar mineral logam Nusantara itu, dibuktikan dengan catatan maskapai dagang VOC yang disimpan di Kerajaan Belanda. Di abad ke-16, hampir semua kerajaan di Eropa memesan nikel, tembaga, dan bauksit yang diperoleh Belanda dari Nusantara. Kerajaan Inggris adalah pemesan terbesar logam tembaga, nikel dan bauksit untuk semua logam pada senjata, mata tombak, pedang, dan mata panah. Sampai di abad ke-18, metalurgi untuk senapan musket kerajaan itu harus mendatangkan nikel dari Nusantara.
Pada paska Kemerdekaan RI tahun 1945, tidak ada data mengenai adanya aktivitas penambangan nikel dan bauksit secara besar-besaran. Setelah dua dasawarsa kemudian, Pemerintah Indonesia memberikan kontrak karya pertambangan generasi ketiga kepada dua korporasi tambang raksasa dunia; PT. Rio Tinto dan PT. INCO, setelah PT. Freeport di Papua. Kontrak karya itu diperkuat lewat UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11/1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan.
Sesungguhnya, dalam teknik olahan mineral (di antaranya; nikel dan bauksit) dapat dihasilkan sejumlah varian untuk pembuatan stainless steel, slab, nickel pig iron, verro chrome, kars, cocas, carbon steel, CRC Carbon, cobalt, dan lithium. Olahan paling menguntungkan saat ini adalah cobalt dan lithium yang merupakan bahan baku utama kendaraan listrik.
Para investor bersemangat untuk berinvestasi pada olahan lithium sebagai bahan dasar untuk memproduksi mobil listrik. Didukung oleh investasi yang dipicu oleh potensi pasar —khususnya mobil listrik— maka Elon Musk, pendiri pabrik Tesla dan CATL, berkongsi dengan LG, Volkswagen, hingga Mercedez dengan total investasi US$.4 Miliar. Mereka harus melirik Indonesia, sebab Indonesia menguasai 50 persen lebih materi dari produksi lithium dunia.
Menyadari perlunya banyak Tenaga Kerja Indonesia terampil di sektor ini, Pemerintah Indonesia pada pertengahan 2019 telah meminta agar perusahaan-perusahaan besar pengolahan mineral di sektor hilir ini membangun Sekolah Menengah Atas, Sekolah Teknik Menegah Atas, dan Politeknik untuk memproduksi tenaga-tenaga yang mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk bekerja di pusat-pusat pertambangan nikel dan bouksit di semua kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Indonesia. Kesempatan besar ini sangat memenuhi ekspektasi Pasal 103 pada UU No. 4/2009 mengenai larangan ekspor berbagai bentuk mineral mentah, yang mewajibkan pengolahan dan pemurniannya dilakukan di dalam negeri.
Jika kinerja PSN ini berjalan lancar, maka dalam satu dekade ke depan Indonesia akan menjadi tuan rumah utama dalam produksi material energi baru Nickel Laterit (atau Listrik Laterit) untuk memenuhi kebutuhan lithium generasi kedua. Juga di tahun 2025, Pemerintah Indonesia menargetkan 20 persen total produksi mobil di Indonesia berbasis elektrik. Indonesia sekaligus menjadi lokasi produksi mobil listrik terbesar dunia yang didukung investasi dari Jerman, Korea, Jepang, China dan Indonesia.
Tenaga Kerja Indonesia atau Tenaga Kerja Lokal?
Preposisi ketenagakerjaan di Indonesia telah berubah semenjak investasi asing masuk. Indonesia memang terlalu lama mengunci kebijakan investasi asingnya dan lebih mementingkan upaya perusaahan negara (BUMN) yang memiliki pondasi kuat agar lebih ekspansif. Pola itu, sesungguhnya tidak sepenuhnya bisa meningkatkan devisa dan mendorong perluasan ruang kerja bagi warga Indonesia. Sebab sektor ketenagakerjaan tidak menjadi domain BUMN yang berinvestasi di negara asing.
Indonesia kini menjalankan tujuh Kawasan Strategis Nasional di seluruh Indonesia, dengan 247 Proyek Strategis Nasional yang meliputi 15 sektor pada tingkatan proyek (74 jalan nasional; 54 bendungan; 30 kawasan nasional; 23 perkeretaapian; 12 energi; 10 pelabuhan nasional; 9 pengolahan air; 8 bandar udara internasional; 7 irigasi; 6 smelter; 4 keteknologian; 3 perumahan; 3 PLBN; 1 kelautan; 1 tanggul laut), dan dua sektor pada tingkatan program (1 kelistrikan; 1 industri pesawat), dengan total nilai investasi yang sangat fantastis Rp.4.197 Triliun.
Keseluruhan PSN ini akan menyerap 19 juta TKI. Sungguh proyeksi serapan yang sangat besar. Serapan TKI sebesar itu akan menyelesaikan masalah pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Agustus 2019 sebesar 5,28% atau mencapai 7,05 juta orang. Ini proyeksi serapan untuk Indonesia. Lantas, bagaimana TPT dan serapannya di Sulawesi Tenggara?
Di Sulawesi Tenggara, sejak kawasan PSN didirikan negara, seketika mengubah wajah kabupaten Konawe dan kawasan Morosi. Upaya sejumlah perusaahan di kawasan PSN Morosi menyelesaikan konstruksi dan instalasi pabrik secara berangsur mendongkrak proyeksi kebutuhan TKI di kawasan itu.
Namun pada 13 Juli 2020, Pemerintah kabupaten (Pemkab) Konawe membuka rekrutmen 5.000 tenaga kerja untuk mengisi lowongan di PT. Virtue Dragon Nickel Indonesia (VDNI) dan PT. Obsidien Stainless Stell (OSS). Ini kemungkinan rekrutmen tahap pertama. Sayangnya, pola rekrutmen tenaga kerja yang dilakukan Pemkab Konawe seolah melanggar konstitusi dengan membagi calon TKI untuk dua perusahaan itu dalam tujuh zonansi; dua zonansi dibentuk untuk menampung —yang dibahasakan sebagai Tenaga Kerja Lokal (TKL). Dua zonansi untuk TKI Sultra, dan satu zonansi untuk TKI luar Sultra.
Dalam nomenklatur perundangan Indonesia tidak dikenal istilah TKL. Namun dalam konstitusi turunannya dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), istilah TKL (atau pemberdayaan TKL) telah digunakan pada beberapa kabupaten, di antaranya kabupaten Berau, Bitung, Mandailing, Jember, dan Siak. Di Sulawesi Tenggara, hanya kabupaten Kolaka Timur yang dengan jelas mengatur soal ini, melalui Perda No. 4/2017 tentang Tenaga Kerja Lokal.
Di kabupaten Konawe tidak terdaftar adanya Perda serupa itu. Justru aturan mengenai tenaga kerja di kabupaten Konawe bisa ditemukan pada Perda No. 16/2015 tentang Tenaga Kerja Indonesia. Sehingga tidak tepat Pemkab Konawe melakukan perekrutan tenaga kerja untuk dua perusahaan dalam kawasan PSN dengan mengunakan terminologi TKL. PSN adalah domain negara dan pemerintah Indonesia, sehingga harus menggunakan perangkat perundangan yang lebih tinggi.
Dapat dipahami bahwa di dalam UU Ketenagakerjaan memang tidak spesifik mengatur kewajiban penggunaan TKL, namun hal ini diserahkan kepada Pemerintah Daerah. Maka, Pemkab Konawe terlebih dulu harus menyiapkan perangkat hukum daerahnya sebelum melakukan rekrutmen TKL.
Rekrutmen TKI di Pemkab Konawe untuk PSN Morosi memang tampak segregatif dengan pola yang diskriminatif. Jika kasus serupa berlaku di beberapa daerah —yang bahkan telah memiliki perangkat hukum yang jelas mengenai TKL— maka tertutup pula kesempatan kerja bagi TKI asal Sultra dengan kompetensi khusus untuk bekerja di perusahaan di daerah-daerah itu. Sehingga itu terjadi, maka Indonesia dan Sulawesi Tenggara akan sangat kesulitan menurunkan angka TPT, yang per Agustus 2019 naik 0,33 persen menjadi 3,59 persen.
Padahal dengan proyeksi serapan TKI sebesar 19 juta orang di tujuh kawasan PSN itu, warga lokal di mana pun tidak perlu cemas untuk bisa mengakses lapangan kerja jika ia jelas memiliki kompetensi kerja yang tepat. []
*) Ilham Q. Moehiddin adalah Sastrawan Indonesia dan saat ini bekerja sebagai Juru Bicara Gubernur Sulawesi Tenggara.