PADA Senin 20 September 2021, Gubernur Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) H. Ali Mazi, SH., sebagai entitas Pemerintah Provinsi (Pemprov) bersama dengan Irjen Pol. Drs. Yan Sultra Indrajaya, SH., Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sultra menggelar dan membuka sarasehan (dengar pendapat) serta diskusi, yang diakhiri deklarasi, di Aula Dachara Markas Kepolisian Daerah (Mapolda) Sultra.
Kegiatan tersebut bertema Merawat Harmoni, Merajut Kebinekaan dalam Perbedaan Guna Menjaga Situasi KAMTIBMAS yang Kondusif di Wilayah Sultra.
Selain Gubernur Ali Mazi dan Kapolda Irjen Pol. Yan Sultra Indrajaya, kegiatan yang diikuti 19 Lembaga Adat di Sultra, juga dihadiri Ketua DPRD Sultra H. Abdurrahman Shaleh, M.Si., Sekretaris Daerah Prov. Sultra Dr. Hj. Nur Endang Abbas, SE., M.Si., dan jajaran Forkopimda, antara lain; Kepala Kejaksaan Tinggi Prov. Sultra Sarjono Turin, SH., MH., Danrem 143/HO Brigjen TNI. Jannie Aldrin Siahaan, SE., M.B.A.. (diwakili); Kabinda Prov. Sultra Brigjen TNI Raden Toto Oktavians, S.Sos.; Kepala Badan Narkotika Nasional Prov. Sultra Brigjen Pol. Sabaruddin Ginting; Ketua Pengadilan Tinggi Prov. Sultra Dr. HAS. Pudjoharsoyo, SH., M.Hum.,
Hadir pula Dan Lanal Kendari Kolonel (P) Andike Sri Mutia, S.Sos.; Dan Lanud HLO Kolonel (Pnb.) Andy F. Picaulina, S.Sos.; Ka. Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Prov. Sultra Silvester Sili Laba, SH.; dan Wali Kota Kendari H. Sulkarnain Kadir, SE, ME.
Banyak hal penting yang disampaikan Gubernur Ali Mazi yang dikenal di Indonesia sebagai salasatu Tokoh Multikulturalis ini, dalam sambutan di acara yang sejalan dengan visi pembangunan Sultra ini, yakni Terwujudnya Sulawesi Tenggara yang Aman, Maju, Sejahtera dan Bermartabat.
Menurut Gubernur Ali Mazi, multikulturalisme merupakan paradigma yang baik dalam upaya merajut kembali hubungan antar manusia yang selalu hidup dalam suasana konflik. Secara sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai suatu konsep keanekaragaman budaya dan kompleksitas dalam masyarakat. “Melalui multikulturalisme masyarakat diajak untuk menjunjung tinggi toleransi, kerukunan, dan perdamaian bukan konflik atau kekerasan dalam arus perubahan sosial.”
Bangsa Indonesia, dijekasjan oleh Gubernur Ali Mazi, disebut bangsa multikultural karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa, ras, agama, etnis, dan budaya. Masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai pemandangan ragam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang menekankan adanya keragaman, kebhinekaan, dan pluralitas sebagai realitas utama dalam kehidupan bermasyarakat. “Demikian pula dengan masyarakat Sulawesi Tenggara.”
Lanjut Gubernur Ali Mazi, “Jumlah penduduk Sulawesi Tenggara berdasarkan data BPS hasil sensus penduduk 2020, sebanyak 2.624.875 jiwa, yang terdiri dari berbagai suku, budaya, bahasa, dan agama, yaitu Buton dengan populasi terbanyak 26 persen; diikuti Tolaki dengan populasi 23 persen; Muna sebanyak 19 persen; Moronene sebanyak 10 persen; Wawonii sebanyak 9 persen; dan suku lainnya sebanyak 10 persen.”
Dari semua suku tersebut, agama Islam dianut terbanyak 95 persen warga; menyusul Hindu 2,04 persen; Kristen Protestan 1,84 persen; Kristen Katolitk 0,58 persen; dan Budha 0,04 persen.
Menjaga Keberagaman
Pada dasarnya masyarakat Sultra bersifat multikultural yang memberikan nilai tambah bagi Bangsa Indonesia dengan keragaman ras, etnis, suku, ataupun agama, dan menjadi karakteristik tersendiri, sebagaimana masyarakat lainnya di Indonesia yang unik karena kemajemukan suku, adat istiadat, budaya dan agama.
“Multikultural-nya masyarakat Sultra terbentuk karena letak geografis dan perkawinan antar etnis yang berasal dari warisan, sejarah, asal-usul, nilai, dan kesamaan bahasa. Kondisi Multikulturalisme pada masyarakat Sulawesi Tenggara tentu saja memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya bisa memperkokoh persatuan, sementara dampak negatifnya bisa menyebabkan perpecahan. Ini yang harus dicegah,” kata Gubernur Ali Mazi.
Saat ini, menurut Gubernur Ali Mazi, keberadaan multikulturalisme sedang diuji. Dalam masyarakat banyak muncul sifat atau sikap egosentrisme, baik atas nama agama, suku, atau perbedaan pandangan politik. Sifat atau sikap tersebut dapat berubah menjadi eksklusivisme dan pada akhirnya memicu perpecahan. “Apalagi jika ditambah dengan himpitan masalah ekonomi, sosial, serta budaya.”
Tantangan masyarakat multikultural di Sulawesi Tenggara, antara lain masalah etnis; Prasangka dan stereoptipe (ejekan terhadap individu atau kelompok); Kelompok mayoritas dan minoritas; dan ancaman konflik sara.
Di era digital saat ini, perkembangan sarana informasi dan komunikasi membuka peluang tersebarnya beragam ujaran kebencian (hate speech) dan berita-berita palsu (hoax) secara bebas, terlebih jika hal tersebut menyangkut isu sensitif seperti sara.
Pemerintah Provinsi Sultra dengan dukungan lembaga-lembaga terkait, berupaya terus merawat masyarakat multikutularisme ini dengan menyelenggarakan dialog secara berkala antara tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat dan ormas, dalam pemahaman berwawasan multikultural; Meningkatkan kerja sama dan kemitraan yang sinergis berpola koordinatif dan sinkronisasi antara Pemerintah Daerah, Forkopimda, TNI/Polri, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Adat, Paguyuban dan Ormas lainnya, dalam pencegahan dan penanganan konflik; Mendorong peningkatan peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sultra, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme, dan Forum Pembaruan Kebangsaan; Mendorong media untuk lebih berperan dalam menghadirkan berita dan informasi yang mencerahkan dan menangkal berita-berita yang menyesatkan masyarakat; dan Penguatan pembentukan legalitas organisasi kemasyarakatan yang belum terbentuk dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan kerukunan di daerah dan Nasional.
Menurut Gubernur Ali Mazi, langkah yang perlu ditempuh untuk merawat masyarakat multikultularisme di Sulawesi Tenggara, antara lain Memberi kesempatan yang sama kepada semua masyarakat Sultra untuk berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan daerah dan pemberdayaan masyarakat tanpa melihat latar belakang suku, budaya, agama dan gender; Meningkatkan kewaspadaan dini masyarakat dan memperkuat pendidikan multikulturalisme, dengan menanamkan nilai toleransi sejak dini; Penyelenggara pemerintahan, wajib menfasilitasi pengembangan kualitas sumber daya manusia, dan fasilitasi pelayanan publik tanpa diskriminasi; Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota wajib melestarikan budaya daerah yang merupakan akar bangsa untuk memperkokoh jati diri dan martabat bangsa, menumbuhkan kebanggaan Nasional serta mempererat persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai NKRI; dan Mendorong keterlibatan semua pihak dalam upaya memajukan budaya daerah di sultra, dan merawat keanekaragaman kebudayaan daerah Sulawesi Tenggara, melalui peningkatan kegiatan budaya daerah, apresiasi seni budaya daerah, sosialisasi dan publikasi nilai-nilai budaya daerah kepada masyarakat.
“Kerukunan, Keharmonisan, dan Kebinekaan mengambil peran penting dalam pengembangan Sumber Daya Alam di Bumi Anoa,” kata Gubernur Ali Mazi.
Kegiatan yang diinisiasi Polda Sultra ini dihadiri oleh 28 Lembaga Adat/Suku di Sultra, dan kerukunan masyarakat dari luar Sultra, di antaranya kerukunan Jawa, Minahasa, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku.
“Dengan kehadiran seluruh elemen masyarakat dalam sarasehan hari ini, kita mampu menciptakan suasana yang harmonis dan kondusif. Sehingga Pemerintah, Forkopimda, juga masyarakat dapat bahu-membahu membangun Sultra,” harap Kapolda Sultra Irjen Pol. Yan Sultra Indrajaya.
Di penghujung sarasehan diadakan sesi diskusi dengan tajuk Multikulturalisme di Sulawesi Tenggara: Peluang dan Tantangan. Seusai diskusi, acara itu ditutup dengan penandatanganan lembar deklarasi.
Berturut-turut berpidato seusai Kapolda Sultra Irjen Pol. Yan Sultra Indrajaya dan Gubernur Ali Mazi, disusul Kabinda Sultra Brigjen TNI Raden Toto Oktavians, dan Kepala Staf Korem (Kasrem) 143/HO Kolonel Inf. Tri Rana Subekti, S.Sos., M.M. yang mewakili Danrem. Kmudian pembecaan ikrar dipimpin oleh Ketua DPRD Sultra H. Abdurrahman Shaleh.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sultra, H. Abdurrahman Shaleh, MH., membacakan teks Deklarasi Damai yang kemudian dikuti seluruh undangan yang hadir. Seusai pembacaan, dilanjutkan dengan penandatanganan Deklarasi Damai oleh 28 perwakilan organisasi kerukunan di Sultra.
Berikut Deklarasi Damai yang ditandatangani dan dibacakan di Aula Dachara Polda Sultra :
DEKLARASI DAMAI UNTUK MEWUJUDKAN SITUASI KAMTIBMAS YANG KONDUSIF DI WILAYAH SULAWESI TENGGARA
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa, Pada Hari Ini, Senin Tanggal Dua Puluh September Dua Ribu Dua Puluh Satu, Pemerintah dan Kerukunan Suku yang Ada Bersepakat Mendeklarasikan :
- Memperkokoh kerukunan dalam bingkai kebinekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Musyawarah dan mufakat dalam menyelesaikan masalah sosial demi terciptanya Kamtibmas yang kondusif.
- Saling menghormati dan menghargai perbedaan Adat dan Suku.
- Tidak terpengaruh oleh provokasi pemberitaan yang tidak benar yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
- Menolak melanggar hukum, anarkisme, intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
- Berperan dalam mendukung penegakan hukum demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Demikian Deklarasi Damai ini dibuat dengan penuh keikhlasan demi terwujudnya situasi Kamtibmas yang kondusif di wilayah Sulawesi Tenggara.
Ditandatangani :
- Gubernur Sultra, H. Ali Mazi, SH.
- Ketua DPRD Sultra, H. Abdurrahman Shaleh, MH.
- Kapolda Sultra, Kapolda Sultra Irjen Pol. Drs. Yan Sultra Indrajaya, SH.,
- Kabinda Sultra, Brigjen TNI Raden Toto Oktavians, S.Sos.,
- Danrem 143/HO, diwakili Kepala Staf Korem 143/Halu Oleo Kolonel Inf Tri Rana Subekti, S.Sos., M.M.,
- Danlanal Kendari, diwakili Dandenpomal Mayor Laut (PM) Asmad S.Tp.
- Danlanud Haluoleo, diwakili Kadispers Mayor (ADM) Deddy Eko Wasudy, S.P.
- Kajati Sultra, diwakil Wakajati Sultra, Akhmad Yani, SH., MH.
- Ketua Pengadilan Tinggi Sultra, Dr. H. Achmad Setyo Pudjoharsoyo, SH., M.Hum.
- Wali Kota Kendari, H. Sulkarnain Kadir, SE., ME.
- Ketua DPP LAT Sultra, Drs. H. Masyhur Abunawas M.Si.
- Ketua Kerukunan Muna, Dr. Ir. La Nalefo, M.S.
- Ketua Kerukunan Buton, Drs. H. Halili
- Ketua Kerukunan Moronene, Hj. Sitti Saleha, SE., M.Si
- Ketua Kerukunan Wakatobi, diwakili Dr. La Ode Taalami, S.Pd., M.Hum.
- Ketua Kerukunan Menui, Sabarudin Sondeng, SE., MM.
- Ketua Kerukunan Jawa, Harry Purwanto
- Ketua Kerukunan Sulawesi Selatan, Drs. H. Nurdin Tompo
- Ketua PHDI Sultra, Dr. Eng. I Nyoman Sudiana, M.Si.
- Ketua Kerukunan Pasundan Sultra, Prof. Dr. Sahidin, M.Si.
- Ketua Kerukunan Masyarakat NTT, Rony Malua
- Forum Kerukunan Batak Sultra, Ruspan Simatupang
- Ketua Kerukunan Minahasa, Donal Kandou
- Ketua Kerukunan Masyarakat Indonesia Maluku, Arifin T.A
- Ketua Ikatan Keluarga Minang, Irwan Oktivi
- Ketua Kerukunan Papua, diwakili Umar
- Ketua Kerukunan NTB, Ahma
- Ketua Kerukunan Mandar, Rahmat Buyung.
Acara tersebut diakhiri dengan penandatanganan deklarasi oleh semua unsur Forkopimda, Kepala Daerah (atau yang mewakili), Ketua Lembaga Adat, serta Ketua Kerukunan.
Setelah penandatangan Deklarasi Damai, dilanjutkan dengan agenda foto bersama oleh seluruh tamu undangan di Aula Dachara dan di depan Polda Sultra dengan memegang selembar panjang Bendera Merah Putih. []
Ilham Q. Moehiddin
Juru Bicara Gubernur Sultra
*Foto: JGS/Frans Patadungan © 2021.